Mohon tunggu...
Pion Ratulolly
Pion Ratulolly Mohon Tunggu... Pegiat Literasi Flores Timur -

Pegiat Literasi Flores Timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Angga Syahputra

30 Januari 2019   04:30 Diperbarui: 30 Januari 2019   04:49 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok: FB Tarwan Stanyslaus

Sebagai sahabat, kita mungkin terlalu naif. Menyimpan cemburu yang purba. Menangkup sakit hati yang nisbi. Kita terlalu percaya akan bisik halus perasaan. Hingga, kerap kali akal kita terbaring kaku di balik jasad prasangka-prasangka sirik yang kita gelar. Kita bahkan menghidupinya dengan cerita-cerita nelangsa yang fiktif. 

Serupa kisah sepucuk mawar yang layu sebelum mekar lantaran diterpa angin tipis. Atau, seperti cerita cicak yang terlanjur memutuskan ekor walau hanya disentuh tangan manusia. Maka, tak jarang rintik-rintik rintih tangis, kita sembunyikan dalam kelam kelambu malam.

Kita bahkan terlanjur tega untuk mencubit-cubit tubuh sendiri. Saat menyaksikan orang yang kita cintai berjalan dengan sahabat kita. Kita lantas berpura-pura menguatkan diri dengan membatin, keduanya tak ada hubungan pacaran. 

Namun, di saat bersamaan, ada seleret kecemasan menguntit. Apa mungkin lantaran kita terlampau lemah untuk diciptakan sebagai makhluk perasa? Hingga, untuk memilah mana iri, cinta, dan persahabatan, amat sulit kita pilih.

Aku. Bukan cuma aku yang mengendus kalian memiliki hubungan lain. Lain orang jua. Sebab, hubungan kalian terlampau akrab. Tidak sekadar sebagai sahabat. Saudara apalagi. Lebih dari itu. Kalian berpacaran. Namun, sudah kerap kali kalian menyanggah. Kalian berkilah benar-benar tidak sedang berpacaran. Atau, boleh jadi kalian memang benar-benar tidak sedang merajut tenun asmara? Berarti, aku saja yang terlalu buta melihat kekariban hubungan kalian dengan kaca mata cemburuku?

Dan kamu. Kamu juga acap menanyakan hal serupa itu pada diriku. Sewaktu aku bersama lelaki, yang sama-sama kita naksir itu, berjalan beriringan pulang sekolah. Kamu mungkin menduga, kami sedang melakukan transaksi janji demi menggelar acara pertemuan malam nanti yang lebih romantis. Mungkin duduk bersama di bawah gong perdamaian sambil mencicipi pop ice rasa sirsak. Atau, jangan-jangan kau menyangka, kami akan ke toko buku dan pulangnya mampir di warung soto ayam Lamongan di sebelahnya.

Ah, untuk itulah, kamu selalu menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup janggal. Apa dia pernah memegang tanganmu? Memberi bunga kepadamu? Atau sekadar mengirimmu sms berisi puisi-puisi hasil contekan Kahlil Gibran? Tapi, lagi-lagi, kau salah besar soal ini.

Pernah di suatu senja. Kita bertiga jalan bareng di bibir pantai Teluk Kupang. Dia, lelaki satu-satunya yang mengisi palung hati kita berdua, berjalan di antara kita berdua. Di tengah. Sembari melangkah, ia menggenggam tangan kita berdua. Hampir sudah dapat dipastikan, bahwa kita berdua tiba-tiba akan menjelma menjadi kepiting rebus.

Merah. Padam. Malu. Kita pun masing-masing mendefinisikan makna genggaman itu. Tergantung genggaman mana yang paling erat. Dan aku, sudah dapat menuding, tanganmulah yang digenggamnya paling erat. Ia lantas akan menyatakan perasaannya kepadamu disaksikan oleh diriku dan senja Teluk Kupang. Atau sebaliknya. 

Aku berbahagia, tangankulah yang digenggamnya erat. Dia pun akan mengatakan perasaan sukanya kepadaku, disaksikan oleh dirimu dan senja Teluk Kupang. Namun, sekali lagi, kita hanya dikelabui oleh fiktif perasaan. Itu, tak menjadi nyata sedikit pun.

Bila saja kita berdua jujur terhadap diri sendiri. Maka, tak seharusnya kita berjuang setengah mati setiap hari untuk mencuri perhatiannya. Kita bahkan tak sungkan memakai jaket berwarna pelangi lantaran suatu ketika dalam bis pulang sekolah dia mengatakan senang melihat perempuan berjaket pelangi di dalam bis. Kita pun mati-matian berkorban latihan gitar tiap hari demi menyanggupi pernyataannya kalau dia senang melihat cewek bermain gitar, apalagi mampu menemaninya bernyanyi jazz.

Kita mungkin terlalu tuli mendengar pengakuan jujur dari bibir tipisnya. Bahwa dia memang benar-benar mencintai kita. Mencintai sebagai teman. Tidak lebih! Dan kalimat itu, sudah berulang kali ia desiskan sopan di kuping kita berdua. Namun, kita saja yang kelewat menyajikan hidangan cinta cita rasa tinggi di atas altar hatinya yang melompong.

Bahkan untuk itu, kita rela berdiam muka beberapa hari. Tiada bertegur sapa. Pun bersitatap. Serupa sedang menyimpan bara dalam sekam. Lalu menanti untuk terbakar dipantik percik api. Padahal, pertemuan kita jauh lebih tua usianya ketimbang pertemuan kita dengan lelaki ini. Kita telah diperkenalkan semenjak masih mengenakan seragam putih merah. Sementara dengan lelaki ini, kita mengenalnya tatkala kita baru saja mencecapi manisnya masa subur puber SMA.

Persahabatan kita jadi apalah artinya. Jika untuk mengakrabi diri, kita butuh waktu untuk saling melepas jauh-jauh perasaan cinta kita terhadap lelaki itu. Selalu begitu. Berulang-ulang kali. Dan kita masih saja mengikuti pola itu, pola yang telah memenjara kita dalam cemburu yang kaku. Persahabatan yang semu. Dipenuhi lembar-lembar muram kamuflase.

Dan setelah perpisahan ini. Setelah kita menanggalkan seragam putih abu. Kita menjadi lebih mandiri. Lebih memilih untuk tidak lagi bersekolah di satu lembaga. Apalagi satu jurusan. Kita sudah memutuskan untuk menjadi diri sendiri. Lebih bebas. Lebih nikmat. Namun, perasaan suka kita kepada lelaki itu, tentu tak akan pernah pupus. Bahkan sampai kini.

Aku. Memang aku sudah menduga sebelumnya. Bahwa engkau sengaja untuk memilih kuliah di kampus yang berbeda denganku. Lantaran, kamu mempunyai strategi sendiri untuk merebut hati lelaki itu. Kamu pasti beranggapan, tanpa diriku, kamu akan lebih bebas mengajaknya jalan-jalan. Menunggu senja turun di pesisir Pantai Taddys sambil makan jagung bakar. Atau berjoging awal pagi hari di trotoar jalan Eltari hingga mentari bertandang lantas makan kacang ijo berdua di depan Hotel Cendana.

Kamu. Kamu tentu mengira dengan kesendirianku di kampus ini, aku tentu akan lebih mudah berhubungan dengannya. Menemaninya bermain basket bersama di Taman Nostalgia. Selepas itu, kami akan bercanda ria sambil menyeruput mocca dingin.

Kamu pun menduga aku akan mengajaknya untuk mengajariku menyelesaikan tugas Kalkulus yang kurang aku pahami. Setelah itu, mungkin kami akan duduk di beranda samping rumah sambil berdua mendendangkan lagu-lagu jazz kesukaannya.

Akan tetapi, untuk saat ini, sebaiknya pikiranmu, pikiranku, pikiran kita ini, kita kemas rapi-rapi dalam peti kenangan. Menjadi sebuah monumen masa silam yang salah bikin. Sebab, dirimu dan diriku sejatinya adalah sahabat sejati. 

Tanpa perlu lagi memerebutkan, siapa yang layak menjadi pacar lelaki itu. Karena, dia kini telah menjalin hubungan asmara dengan lain orang. Kamu tentu masih ingat dengan Angga `kan? Teman sekelas kita yang suka ikut-ikutan memakai jaket pelangi milik kita dan gemar bermain gitar sambil mendendangkan lagu-lagu jazz. Ya, Angga Syahputralah yang kini mengisi relung hati Max. Bukan aku, Veni, bukan pula kamu Yeni.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun