Sejak sayembara Pilpres 2019 lahir dalam kandang Nusantara, sejak itu pula lahirlah dua anak kandung demokrasi bernama Cebong dan Kampret. Cebong sebagai hinaan untuk para pendukung fanatik Jokowi (Jokowi-Amin) yang bergentayangan di media sosial. Sedangkan, Kampret sebagai hinaan untuk para pendukung garis keras Prabowo (Prabowo-Sandi) yang setiap detik wara-wiri di jagat maya.
Disebut Cebong, lantaran para pemuja Jokowi ditamsilkan sebagai segerombolan orang yang memiliki IQ yang rendah dalam mendukung sesuatu sebagaimana IQ kecebong atau kodok.Â
Sementara itu, dibaptis Kampret, sebab militan Prabowo dimisalkan sebagai serombongan manusia yang otaknya terbalik sebagaimana perilaku kelelawar yang kerap menggantung diri secara terbalik di siang hari.Â
Cebong dan Kampret kian hari menjelma layaknya hantu yang menakutkan dalam gua media sosial. Keduanya saling perang dengan senjata tajam kata-kata demi menumbangkan lawan.
Kadang, kata-kata itu dibarengi dengan data yang dicopy paste dari kanal maya. Walaupun kadang naif, data yang disalin tempel tersebut tidak melalui proses verifikasi yang laik.Â
Asal data tersebut sesuai dengan ambisi untuk membela kelompoknya dan menghina kelompok lawan, dicopot pasang saja pada dinding maya.
Tahapan pembelaan tersebut bahkan merambah naik kepada etape taklid buta. Setiap hal yang disabdakan atau dilakonkan oleh junjungan mereka, selalu saja dibenarkan.Â
Begitu pula sebaliknya, setiap kesalahan yang dikatakan atau dilakukan oleh pujaannya, selalu dicari jalan pembenaran sekaligus mengenyampingkan kebenaran.Â
Bukankah perilaku semacam ini dinamakan perilaku buta dan tuli? Itu suatu perilaku yang tidak lagi menggunakan akal sehat dalam bertindak dan mengambil keputusan.Â
Perilaku semacam ini lebih menilai sesuatu secara nafsuiyah ketimbang akaliyah. Perilaku semacam ini sejujurnya merupakan sebuah perilaku yang mundur di tengah pesatnya kemajuan cara berpikir manusia modern.
Tidak jarang, perilaku membenarkan sesuatu tanpa akal sehat ini bisa saja menjerumuskan orang ke dalam lembah perpecahan. Lembah di mana lawan diskusi bisa saja jadi lawan adu jotos, lawan bertengkar mulut jadi berantem badan. Penyebabnya sepele, masing-masing kubu saling mempertahankan argumen yang sejatinya tidak absolut benar.Â
Tragisnya, perilaku membenarkan sesuatu secara membabi buta ini tidak hanya ditunjukkan oleh pengguna medsos yang berkarakter wawasan menengah ke bawah, tetapi juga oleh mereka yang berwawasan tinggi.Â
Sebut saja beberapa politisi yang sudah terjerumus ke dalam pembelaan-pembelaan yang membabi buta terhadap junjungannya. Para politikus yang mestinya menunjukkan pola berpolitik yang santun dan elegan, tetapi sudah menjadi penyiram bensin di tengah api permusuhan Cebong dan Kampret yang sedang berkobar.
Di media sosial, banyak kita temukan para politisi dengan tempramen seperti ini. Mereka memosting sesuatu untuk mengangkat tuannya sembari menginjak musuhnya.Â
Mengagungkan tuannya serupa malaikat yang tak berdosa, dan menghujat lawan tuannya sebagai pendosa yang pantas dicambuk. Lantas, menggoreng posting itu hingga gosong.
Mirisnya, postingan-postingan itu juga sudah merambah kepada hal-hal yang bersifat hoaks. Berita yang fiksi pun dikemas jadi fakta demi menggaet jiwa labil pemilih.Â
Bahkan tidak jarang kita temukan pernyataan-pernyataan dalam postingan yang mengandung ujaran kebencian. Sampai pada titik menghina untuk menjatuhkan kepribadian lawan.Â
Inikah yang dinamakan kemajuan demokrasi? Kemajuan demokrasi yang mengabaikan nilai-nilai etis? Inikah wajah bopeng demokrasi di tengah julukan sebagai salah satu negara demokrasi terbaik di dunia? Miris!
Memang, Cebong dan Kampret semakin hari berkembang biak semakin subur dalam kandang demokrasi ngeri di negeri ini. Namun, bukan berarti menjadi pemilih yang baik dalam hajatan Pilpres di republik ini, seseorang mesti berafiliasi ke dalam Jamaah Cebong dan Tarekat Kampret.Â
Kita tidak seyogyanya menjadi pendukung garis keras keduanya, yang saking kerasnya dukungan sudah melampaui etape taklid buta.
Menjadi pemilih yang baik yakni pemilih yang memilih pemimpin lantaran tertarik dengan visi, misi, dan program kerja Paslon. Pemilih yang melakukan pendekatan rasional, bukan emosional.Â
Pemilih yang realistis, bukan asal ikut sensasi elitis. Pemilih yang memilih karena nurani, bukan terpedaya materi. Pemilih yang berpikir soal nafas hidup banyak orang, bukan kepentingan kenyang perut sekelompok orang. Pemilih yang melewati proses timbangan akal dan renungan hati, bukan timbangan emas dan renungan keuntungan dompet.
Pemilih yang baik di negeri ini adalah pemilih yang memilih dengan pertimbangan kemaslahatan untuk seluruh rakyat di Republik Indonesia tercinta ini. Bukan pemilih Cebong, bukan pula pemilih Kampret.[pr]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H