Tragisnya, perilaku membenarkan sesuatu secara membabi buta ini tidak hanya ditunjukkan oleh pengguna medsos yang berkarakter wawasan menengah ke bawah, tetapi juga oleh mereka yang berwawasan tinggi.Â
Sebut saja beberapa politisi yang sudah terjerumus ke dalam pembelaan-pembelaan yang membabi buta terhadap junjungannya. Para politikus yang mestinya menunjukkan pola berpolitik yang santun dan elegan, tetapi sudah menjadi penyiram bensin di tengah api permusuhan Cebong dan Kampret yang sedang berkobar.
Di media sosial, banyak kita temukan para politisi dengan tempramen seperti ini. Mereka memosting sesuatu untuk mengangkat tuannya sembari menginjak musuhnya.Â
Mengagungkan tuannya serupa malaikat yang tak berdosa, dan menghujat lawan tuannya sebagai pendosa yang pantas dicambuk. Lantas, menggoreng posting itu hingga gosong.
Mirisnya, postingan-postingan itu juga sudah merambah kepada hal-hal yang bersifat hoaks. Berita yang fiksi pun dikemas jadi fakta demi menggaet jiwa labil pemilih.Â
Bahkan tidak jarang kita temukan pernyataan-pernyataan dalam postingan yang mengandung ujaran kebencian. Sampai pada titik menghina untuk menjatuhkan kepribadian lawan.Â
Inikah yang dinamakan kemajuan demokrasi? Kemajuan demokrasi yang mengabaikan nilai-nilai etis? Inikah wajah bopeng demokrasi di tengah julukan sebagai salah satu negara demokrasi terbaik di dunia? Miris!
Memang, Cebong dan Kampret semakin hari berkembang biak semakin subur dalam kandang demokrasi ngeri di negeri ini. Namun, bukan berarti menjadi pemilih yang baik dalam hajatan Pilpres di republik ini, seseorang mesti berafiliasi ke dalam Jamaah Cebong dan Tarekat Kampret.Â
Kita tidak seyogyanya menjadi pendukung garis keras keduanya, yang saking kerasnya dukungan sudah melampaui etape taklid buta.
Menjadi pemilih yang baik yakni pemilih yang memilih pemimpin lantaran tertarik dengan visi, misi, dan program kerja Paslon. Pemilih yang melakukan pendekatan rasional, bukan emosional.Â
Pemilih yang realistis, bukan asal ikut sensasi elitis. Pemilih yang memilih karena nurani, bukan terpedaya materi. Pemilih yang berpikir soal nafas hidup banyak orang, bukan kepentingan kenyang perut sekelompok orang. Pemilih yang melewati proses timbangan akal dan renungan hati, bukan timbangan emas dan renungan keuntungan dompet.