Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Demokrasi, Kebodohan Menjadi Hak Asasi

13 September 2024   21:10 Diperbarui: 13 September 2024   21:10 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Masa kampanye. Masa di mana kebohongan diangkat menjadi seni tingkat tinggi. Para calon berlomba-lomba menciptakan narasi paling meyakinkan, paling mengharukan, dan tentu saja, paling tidak masuk akal.

Mereka akan berjanji memberantas korupsi (sambil diam-diam menyiapkan rekening di Swiss). Mereka akan berjanji mensejahterakan rakyat (dengan menaikkan gaji mereka sendiri). Mereka akan berjanji membawa perubahan (padahal yang berubah cuma gaya rambut mereka).

Dan kita, dengan polosnya, percaya. Karena dalam demokrasi, percaya pada kebohongan adalah bentuk partisipasi politik.

Media Massa. Pengawal Demokrasi atau Badut Istana?

Media massa sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Mereka seharusnya menjadi watchdog, mengawasi pemerintah dan memberi informasi objektif kepada masyarakat.

Kenyataannya? Mereka lebih sering menjadi anjing peliharaan penguasa. Atau lebih parah lagi, menjadi corong propaganda pemilik modal.

Berita tidak lagi berdasarkan fakta, tapi berdasarkan rating. Kebenaran tidak lagi penting, yang penting sensasional. Dan kita, sebagai konsumen berita, dengan senang hati menelan semua sampah informasi itu. Karena dalam demokrasi, kita punya hak untuk bodoh dan tetap merasa pintar.

Oposisi: Profesional dalam Hal Menentang

Dalam demokrasi, oposisi punya peran penting. Mereka ada untuk mengkritisi dan mengawasi pemerintah. Ide yang bagus... dalam teori.

Praktiknya? Oposisi lebih sering menjadi tukang protes profesional. Apapun yang dilakukan pemerintah, pasti salah. Matahari terbit dari timur? Salah pemerintah. Hujan turun? Pemerintah tidak becus mengatur cuaca.

Dan lucunya, kita menyebut ini "check and balance". Padahal yang terjadi lebih mirip "check and bark".

Demokrasi, Ketika Kita Semua Berhak Salah

Jadi, apakah demokrasi benar-benar seburuk itu? Well, mungkin tidak. Seperti kata Winston Churchill, "Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terburuk, kecuali semua bentuk lain yang pernah dicoba."

Mungkin memang benar bahwa dalam demokrasi, kita semua punya hak untuk bodoh. Tapi setidaknya, kita punya hak untuk memilih bagaimana cara kita bodoh. Dan itu, teman-teman, adalah sebuah... kemajuan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun