Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Demokrasi, Kebodohan Menjadi Hak Asasi

13 September 2024   21:10 Diperbarui: 13 September 2024   21:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bayangkan jika 9 orang memutuskan untuk makan siang. 10 orang memilih untuk makan batu, sementara 1 orang memilih nasi. Dalam logika demokrasi, mereka semua harus makan batu. Karena hey, mayoritas selalu benar, kan?

Socrates pernah bilang, "Pendapat mayoritas belum tentu yang terbaik. Hanya yang paling populer." Tapi siapa peduli dengan Socrates? Dia kan bukan selebgram atau tiktoker.

Ketika Kita Mendelegasikan Kebingungan Kita

Dalam demokrasi perwakilan, kita memilih orang-orang untuk mewakili kita di parlemen. Idenya bagus: mereka yang lebih pandai dan berpengalaman akan membuat keputusan untuk kita.

Realitanya? Kita memilih orang-orang yang bahkan tidak tahu apa itu UUD, tapi jago bikin TikTok. Mereka yang harusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, malah sibuk memperjuangkan kenaikan gaji sendiri.

Dan ketika mereka membuat keputusan bodoh, kita protes. Padahal, bukankah kita yang memilih mereka? Ah, indahnya demokrasi. Kita bisa menyalahkan orang lain atas kebodohan pilihan kita sendiri.

Pemilu, Pesta Demokrasi atau Karnaval Kebohongan?

Pemilu sering disebut sebagai pesta demokrasi. Yah, pesta memang. Pesta kebohongan dan manipulasi.

Para calon berlomba-lomba membuat janji. Janji yang mereka sendiri tahu tidak akan bisa mereka tepati. Tapi tidak apa-apa, karena dalam demokrasi, berbohong itu legal. Bahkan, bisa dibilang wajib.

Dan kita, rakyat yang terhormat, dengan senang hati menelan bulat-bulat semua janji itu. Karena dalam demokrasi, kita punya hak untuk dibohongi dan hak untuk percaya pada kebohongan.

Ketika Semua Orang Adalah Ahli Politik

Salah satu "keajaiban" demokrasi adalah bagaimana ia bisa mengubah setiap orang menjadi ahli politik dalam sekejap. Tukang bakso? Ahli ekonomi makro. Ibu rumah tangga? Pakar hubungan internasional. Mahasiswa tingkat satu? Jago analisis kebijakan publik.

Demokrasi memberi kita ilusi bahwa opini kita tentang segala hal itu penting dan valid. Padahal, kebanyakan dari kita bahkan tidak tahu bedanya defisit anggaran dengan defisit perhatian.

Tapi tidak apa-apa. Dalam demokrasi, kebodohan adalah hak asasi yang dilindungi undang-undang.

Kampanye: Ketika Kebohongan Menjadi Seni

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun