Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Demokrasi, Kebodohan Menjadi Hak Asasi

13 September 2024   21:10 Diperbarui: 13 September 2024   21:10 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Demokrasi. Kata yang membuat kita semua merasa penting. Sebuah sistem yang konon katanya memberi kita "kekuasaan". Tapi kekuasaan apa? Kekuasaan untuk memilih antara si bodoh A atau si bodoh B untuk memimpin kita? Oh, sungguh sebuah anugerah yang luar biasa!

Selamat Datang di Sirkus Demokras.

Bayangkan sebuah sirkus. Ada badut, ada pemain akrobat, ada pawang singa. Nah, itulah demokrasi kita. Bedanya, di sini kitalah yang menjadi badutnya, sementara para politisi adalah pawang yang dengan lihai memainkan emosi kita.

Setiap lima tahun sekali, kita diberi kesempatan "istimewa" untuk berpartisipasi dalam ritual sakral bernama pemilu. Kita berbondong-bondong ke TPS, merasa begitu penting karena bisa menentukan nasib bangsa. Padahal, apa yang sebenarnya kita lakukan? Memilih antara si jas biru atau si jas merah? Antara si kumis tebal atau si jenggot lebat?

Oh, betapa demokratisnya kita!

Suara Rakyat, Suara Tuhan? Lebih Tepatnya, Suara Kebingungan

Ada yang bilang, suara rakyat adalah suara Tuhan. Kalau begitu, Tuhan pasti sedang bingung sekali sekarang. Atau mungkin Dia sedang tertawa terbahak-bahak melihat tingkah kita.

Coba pikirkan: kita memberi suara berdasarkan apa? Visi misi? Program kerja? Ah, itu terlalu muluk. Kebanyakan dari kita memilih berdasarkan tampang yang ganteng, janji yang muluk-muluk, atau bahkan karena diberi......

Demokrasi, kata mereka, memberi kita kebebasan untuk memilih. Tapi apakah kita benar-benar bebas ketika pilihan kita dibatasi oleh ketidaktahuan dan manipulasi?

Hak untuk Berteriak Tanpa Didengar

Salah satu "keajaiban" demokrasi adalah kebebasan berpendapat. Kita bebas mengkritik pemerintah, bebas menyuarakan ketidaksetujuan, bebas berteriak sekeras mungkin. Tapi apakah ada yang mendengar?

Kebebasan berpendapat dalam demokrasi seperti berbicara di tengah pasar yang ramai. Kita boleh berteriak sekeras mungkin, tapi siapa yang peduli? Yang ada, kita hanya akan dianggap orang gila yang mengganggu ketertiban.

Dan jangan lupa, kebebasan berpendapat juga berarti kebebasan untuk menyebarkan kebodohan. Lihat saja media sosial kita. Penuh dengan "ahli" dadakan yang dengan lantang menyuarakan opini tanpa dasar. Tapi hey, itu hak mereka dalam demokrasi, bukan?

Mayoritas Selalu Benar? Sejak Kapan Kuantitas Menentukan Kualitas?

Prinsip suara terbanyak. Bukti nyata bahwa dalam demokrasi, kebodohan bisa jadi kebijaksanaan asal jumlahnya banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun