Kehadiran Budi Gunawan atau yang akrab disapa "Pak BG" sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tentu menarik untuk dicermati dari berbagai sisi. Terlebih mengingat posisinya yang strategis dan erat kaitannya dengan dinamika politik Tanah Air.
Sejak dilantik Presiden Jokowi pada 2016 silam, sosok BG kini bisa dibilang menjadi salah satu kaki tangan penting Sang Presiden. Ia bahkan disebut menjadi kunci terjalinnya rekonsiliasi Jokowi-Prabowo pasca pemilu 2019 lalu.
Namun di sisi lain, keberadaan BG di BIN turut menimbulkan sejumlah spekulasi dan pertanyaan publik. Salah satunya terkait eratnya hubungan BG dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
BG pernah menjabat sebagai ajudan Mega saat menjadi Wakil Presiden dan kemudian Presiden RI pada 1999 hingga 2004. Koneksi ini sempat mengemuka saat BG mencalonkan diri sebagai Kapolri pada 2015 lalu.
Lantas, bagaimana kedudukan strategis BG di BIN akan berpengaruh pada capaian politik PDIP dan Mega ke depannya? Apakah dunia intelijen dan partai politik memang tak bisa dipisahkan?
Sebagai lembaga intelijen negara, tentu BIN memiliki akses dan kemampuan khusus dalam hal pengumpulan dan analisis informasi strategis. Data dan informasi inilah yang kemudian bisa dimanfaatkan para penguasa demi mengamankan kekuasaannya.
Hal ini terlihat misalnya pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Sosok Yoga Sugomo misalnya, kerap diidentikkan dengan berbagai operasi intelijen yang menopang berdirinya rezim Orba.
Begitu pula dengan Ali Murtopo yang dikenal sebagai aktor di balik layar dalam berbagai skema rekayasa politik Orde Baru, termasuk pemilihan umum 1977.
Contoh lainnya adalah Rusia era Soviet. Lembaga intelijen bernama Cheka dipakai Vladimir Lenin untuk memetakan lawan dan kawan politiknya guna memperkuat kekuasaannya. Cheka bahkan melakukan beragam operasi rahasia demi kepentingan Partai Komunis Uni Soviet.
Dari sinilah lahir pandangan bahwa badan atau lembaga intelijenlah yang seringkali menentukan kokoh atau rontoknya kekuasaan politik di suatu negara.
Melihat fenomena tersebut, wajarlah jika banyak yang mempertanyakan bagaimana posisi strategis Budi Gunawan sebagai Kepala BIN akan berdampak pada elektabilitas dan kekuatan politik PDIP ke depannya.
Namun demikian, kita perlu pahami terlebih dahulu pola hubungan antara Presiden Jokowi dengan PDIP selama ini. Publik mengetahui bila keduanya tak jarang berseberangan dalam menyikapi sejumlah isu politik Tanah Air.
Kontestasi Jokowi dan PDIP - utamanya Bu Mega - sudah dimulai sejak periode pertama pemerintahan Jokowi pada 2014 silam. Misalnya terkait posisi Rini Soemarno sebagai menteri BUMN yang sempat menimbulkan ketegangan.
Kemudian dilanjutkan pada 2019 saat PDIP mengusung pasangan sendiri yakni Ganjar Pranowo-Puan Maharani yang berhadapan dengan pasangan Jokowi-Ma'aruf Amin.
Fakta ini seolah menunjukkan bahwa hubungan Jokowi dan PDIP jauh dari harmonis, melainkan cenderung dinamis dan penuh ketegangan.
Oleh sebab itu, bila melihat posisi Budi Gunawan sebagai orang kepercayaan Jokowi di BIN, tentu ia akan cenderung bertindak demi kepentingan dan kelangsungan kekuasaan Sang Presiden.
Dengan kata lain, keberadaan BG di BIN belum tentu serta merta juga menguntungkan posisi politik PDIP sebagai partai pengusungnya dahulu.
AKAN TETAPI...
Meski demikian, kita tentu tak bisa memungkiri segala kemungkinan dan skenario yang bisa terjadi di ranah politik Indonesia ke depannya.
Terlepas dari pola hubungan Jokowi dan PDIP saat ini yang kerap dinamis, sangat mungkin pula suatu saat kedua belah pihak bisa kembali bersekutu atau berkoalisi dalam menghadapi tantangan politik di masa mendatang.
Dan jika hal itu terjadi, sudah pasti peran strategis BG sebagai pimpinan BIN akan sangat menentukan, baik bagi PDIP maupun Jokowi secara pribadi.
Selain itu, meski tak terlibat secara frontal, tetap saja BIN yang dipimpin BG bisa berkontribusi positif pada perolehan suara PDIP lewat "akses khusus" intelijennya.
Misalnya dengan membaca atau memetakan secara dini pergerakan dan strategi partai-partai pesaing di tanah air. Informasi berharga ini tentu sangat berguna bagi PDIP untuk mengamankan basis massanya di pemilu.
Jadi pada intinya, meski tak bisa dikatakan secara frontal berdampak signifikan pada PDIP saat ini, keberadaan BG sebagai pimpinan BIN tetap saja menguntungkan posisi Mega cs ke depannya kelak.
Melihat fenomena di atas, kiranya tak salah bila banyak yang menduga BIN di bawah kepemimpinan BG "bermain untuk PDIP" atau setidaknya berkontribusi positif pada langkah politik Mega dan koleganya.
Akan tetapi, pada situasi saat ini hubungan PDIP dan Presiden Jokowi yang masih cenderung tegang, BG lebih condong mengedepankan agenda dan kepentingan Sang Presiden sebagai "single client"-nya.
Walaupun demikian, pintu terbuka lebar untuk segala kemungkinan di masa depan, mengingat dinamika politik Tanah Air yang sangat fluktuatif. Jika suatu saat PDIP dan Jokowi kembali bersekutu, sudah barang tentu BIN milik BG pun akan ikut "ambil bagian".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H