Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sekelumit Analisis Novel Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer

6 Februari 2024   14:39 Diperbarui: 6 Februari 2024   14:54 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya sengaja memperlihatkan bahwa pendidikan merupakan suatu yang krusial dalam membentuk identitas manusia dan menjadi wanita yang tidak mudah untuk tunduk kepada laki-laki (Hun, 2011). Hal ini tentunya terbukti, dimana dalam penggambarannya, Nyai yang dulunya dihina berubah menjadi Nyai yang berhasil mengembangkan sebuah perusahaan di bidang pertanian yang berada di daerah Wonokromo, Surabaya.

Satu hal yang menonjol di dalam roman ini antara Minke dan Nyai Ontosoroh ialah keduanya sering direndahkan dan dihina karena merupakan seorang Pribumi. Hal ini terlukiskan ketika Minke yang sedang menyantap makan malam di rumah Nyai Ontosoroh, tiba-tiba saja seseorang yang berbadan tegap yakni Tuan Mellema menghampiri Minke dan berkata Monyet. Pada lain hal, sewaktu tengah bercakap dengan kakak Annelies yakni Robert Mellema, Minke juga pernah direndahkan dengan kalimat; "sayang, kau hanya seorang pribumi" ketika Robert menanyakan ihwal kedekatannya pada sang adik.

Pemberontakan Terhadap Ketidakadilan dan Feodalisme

Sebagaimana digambarkan di dalam roman Bumi Manusia, Minke merupakan sosok yang berpikir terbuka, bebas, dan penentang ketidakdilan. Hal itu tentunya dipengaruhi oleh pendidikan Eropa yang ia pelajari. Meskipun begitu, setelah melihat kondisi zamannya yang semakin lama menunjukkan ketidakdilan karena sistem kekuasaan kolonial yang ada, Minke menjadi tersadar bahwa ia harus melawan, demi bangsanya semakin tidak tertindas. Hal ini terlukiskan, ketika Minke semakin menunjukkan ketidaksenangannya terhadap orang Eropa, dikarenakan permohonannya ditolak oleh pemerintah kolonial untuk melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Minke tersadar, bahwa ia hanyalah seorang pribumi yang selalu dilemahkan dalam struktur kolonial Belanda.

Pada lain hal, Minke juga mendapatkan ketidakadilan dari pemerintahan kolonial Belanda. Dimana hubungan pernikahannya dengan Annelies sebagaimana digambarkan di dalam roman tersebut, dipersoalkan oleh pengadilan, bahkan dianggap tidak sah, tersebab Annelies yang seorang Indo dan Minke yang hanya seorang pribumi. Dari penggambaran tersebut bisa terlihat, bahwa ketika orang pribumi dihadapkan dibawah sistem kolonial, maka jangan harap bisa dimenangkan. Bahkan, tersebab mereka kalah di pengadilan itu, ketidakadilan itu melebar kepada Nyai, dimana harta perusahaannya disita dan Annelies dirampas dari tangannya dan harus dipulangkan ke Belanda.

Atas kejadian itu semua, Minke menjadi alergi terhadap pengetahuan eropa. Kealergian Minke itu tentunya berdasarkan tidak adanya nilai kemanusiaan dan keadilan pada pribumi yang sering dibuat tidak berdaya oleh kolonialisme Belanda. Akan tetapi, tidak bisa disangkal, bahwa Minke bisa berdiri melawan, menyadarkan kembali kesadaran pribumi yang baru, dan mendapatkan segala hal pengetahuan yang berkaitan tentang modernitas, hal itu disebabkan karena pengetahuan barat sebagai pisau analitisnya (Elson, 2009).

Persoalan lain yang digambarkan dari roman tersebut ialah ketika Minke menentang segala hal yang berbau feodalisme. Hal ini tergambarkan ketika Minke melihat abangnya membuka dan membaca buku harian tanpa seizinnya. Tentunya hal tersebut membuat Minke marah karena haknya telah diganggu. Hun (2011) mengemukakan dalam bukunya, bahwa ketika minke masih menganut adat jawa, maka ia tidak akan menunjukkan sikap marah, melainkan sikap yang lebih sopan. Selain itu, sikapnya yang menentang feodal ialah ditunjukkan ketika ia merasa sudah risih ketika harus merangkak dan menyembah ketika menghadap ayahnya sebagai bupati. Pramoedya menggambarkan di dalam tokoh Minke, bahwa perbuatan itu berasal dari adat jawa yang merupakan turun-temurun dari nenek moyang yang menghina martabat manusia. Dari sikap tersebut telah diketahui, bahwa kondisi kehidupan Minke telah berubah dari sebelumnya. Minke yang semakin terbentuk karena didikan Nyai, telah melepaskan unsur-unsur feodal yang telah diwariskan dan juga telah meninggalkan segala bentuk adat yang berlatar belakang priyayi Jawa (Foulcher, 1981)

Pada lain hal, Pramoedya juga menggambarkan situasi yang menunjukkan feodalisme. Dalam roman tersebut, Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang gundik yang dijual oleh ayahnya kepada pemilik pabrik agar bisa mendapatkan kenaikan jabatan. Padahal pada saat itu, umurnya masih 14 tahun, umur yang pada umumnya pada era sekarang dilarang untuk dieksploitasi dan dipekerjakan, Tentunya hal tersebut tidak berlandaskan nilai kemanusiaan. Hal ini Pramoedya gambarkan karena situasi pada zaman kolonial, memang seperti itu. 

Van Niel (1984) menuturkan bahwa penderitaan yang luas di kalangan masyarakat biasa pada zaman itu disebabkan karena ulah para priyayi yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika dianalisis lebih dalam, persoalan ini tentunya bisa dilawan, ketika masyarakat bersatu dengan mempunyai kesamaan pengalaman dan solidaritas khusus yang ternanam untuk bangsanya (Elson, 2009).

Menumbuhkan Imagined Communities Lewat Bahasa Melayu

 Aktivitas menulis tentunya sudah dilakukan oleh Minke pada saat ia sekolah di HBS. Sering sekali ia menulis di surat kabar atau artikel, namun sayangnya ia masih menggunakan bahasa Belanda, yakni bahasa yang ia pelajari di sekolahnya. Akan tetapi, sebagaimana yang digambarkan di dalam roman Bumi Manusia, setelah melewati berbagai persoalan ketidakdilan yang ada, Nyai Ontosoroh menegur Minke agar segera menulis dengan bahasa Melayu. Menurut Nyai, dengan menggunakan bahasa Melayu, artikel yang nantinya diterbitkan akan lebih banyak dibaca oleh orang lain. Lewat penggambaran itu, Pramoedya seakan ingin menunjukkan bahwa dengan bahasa Melayu, masyarakat Pribumi pada saat itu bisa lebih cepat tersadarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun