Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Satu-Satunya yang Gratis adalah Bernafas

10 Maret 2023   16:57 Diperbarui: 10 Maret 2023   17:36 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu masih SD, Rifqy pernah diajak jalan-jalan oleh ayahnya ke tempat wisata seluas 80 hektar. Dengan menggunakan sepeda motor, ayah dan anak itu menempuh perjalanan dari rumah ke tempat wisata tersebut selama 30 menit. Sesampainya disana, ayahnya langsung memarkirkan motor di lahan parkir yang sudah disediakan dengan tarif 2000/jam. Rifqy yang pada saat itu baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat wisata -yang diresmikan pada tahun 1975- langsung gembira dan meminta ayahnya untuk cepat-cepat memfotokannya.

Setelah berpuas foto dan menikmati pemandangan sore di tempat wisata tersebut dan ingin bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba saja sakit perut melanda Rifqy. Sontak saja, Rifqy langsung meminta ayahnya untuk menemaninya ke toilet yang ada disana untuk buang air besar. Setelah menyelesaikan BAB nya dan sudah keluar dari toilet, ia lantas bertanya pada ayahnya

"Buang air di toilet tempat wisata kaya gini bayar juga ya yah?" Tanya Rifqy dengan penasaran

"Betul nak, untuk menjaga kebersihan toilet itu kan diperlukan biaya juga" Jawab ayahnya

"Oh begitu ya yah, aku kira parkir aja yang bayar" 

"Hanya ketika kita bernafas saja nak yang gratis, yang lainnya bayar terus.

Gratis adalah sebuah kata yang jarang kita temukan lagi ketika kita hidup pada hari ini. Mungkin, kalau kita sadari ketika kita mermakirkan motor di lahar parkir mall, atau kita pernah buang air di toilet umum; tentu kita harus keluar uang untuk membayar parkir dan toilet tersebut. Padahal kedua hal itu merupakan fasilitas umum yang pada dasarnya harus gratis. Ketika kedua hal itu saja sudah dikomersialisasikan, jangan heran pada bidang-bidang lain yang esensial seperti pendidikan dan Kesehatan itu harus bayar. Nyatanya, begitulah kita di zaman ini, tak ada yang gratis.

Ketika kita membahas kedua hal seperti parkir dan toilet umum, konsep 'bayar' itu tentunya sudah merebak di kota-kota besar, terutama di Jakarta. Dari zaman SBY masih menjabat sebagai presiden, kedua hal itu memang sudah tidak gratis lagi. Lugasnya, sebenarnya tidak begitu masalah apabila kita memarkirkan motor di parkiran resmi dan legal, ataupun buang air di toilet umum. Toh, selama itu sifatnya resmi tidak ada masalah.

Akan tetapi yang menjadi masalah adalah --pada contoh parkir- sering kali kita melihat ada orang-orang yang memanfaatkan bahu jalan untuk dikomersialkan menjadi lahan parkir. Tentunya hal ini merupakan perbuatan yang terlarang dan ilegal. Orang-orang seperti itu sudah pasti meraup keuntungan yang tidak sedikit. Malahan, dari pengalaman saya yang pernah parkir di bahu jalan, berbicara tentang tarif, itu lebih mahal yang illegal daripada yang legal. Biasanya yang legal itu 2000/jam; namun ketika kita parkir di lahan yang illegal, belum sampai 1 jam saja kita sudah 'dipalak' uang sebesar 4000.

Berbicara tentang parkir, tentu tak selamanya parkir itu berbayar. Ada beberapa tempat seperti minimarket dan toko ritel yang menyediakan lahan parkir gratis, sebab hal itu sudah menjadi sebuah pelayanan untuk pelanggan-pelangannya. Namun pada realitanya, ketika kita pergi ke sebuah minimarket, pasti disana ada aja tukang parkir yang sengaja menjaga kendaraan kita agar ia mendapatkan uang. Meskipun tidak wajib membayar, tetapi ada saja oknum tukang parkir liar yang kalau kita tidak membayar parkir, dia langsung marah dan memaksa kita untuk bayar

Pernah satu waktu, saya sempat adu mulut dengan salah seorang tukang parkir liar. Ketika itu, saya dan teman saya sempat berhenti di sebuah atm yang bersebelahan dengan toko-toko. Situasinya pada saat itu; teman saya yang mengambil uang, sementara saya tetap duduk menunggu di atas motor. Setelah teman saya keluar dari atm dan hendak menyalakan motor, tiba-tiba saja ada tukang parkir yang muncul dan memintai kami uang parkir. Aneh sekali bukan? Padahal saya sendiri tidak turun dari motor tersebut dan hanya sebentar. Hal-hal seperti inilah yang harusnya dibenahi secara tuntas dan perlu mendapat perhatian dari pejabat pemerintahan terkait.

Sebab, ketika tukang parkir liar dibiarkan begitu saja, maka kerugian yang ditimbulkan bukan hanya terjadinya saling cekcok antara tukang parkir dan pelanggan; akan tetapi dari segi pendapatan daerah juga dirugikan. DKI Jakarta misalnya, pendapatan parkir liar di daerah tersebut pada tahun 2022 saja bisa mencapai 460 M. Tentunya 460 M itu adalah angka yang sungguh bombastis. Apabila dibandingkan dengan pajak parkir yang diterima pemda DKI Jakarta pada tahun 2022 sebesar 375 M, tentu penghasilan pajak parkir akan kalah dengan pendapatan parkir liar secara keseluruhan.

Selain masalah parkir yang sudah banyak di komersialkan, urusan buang air di toilet umum pun sekarang sudah banyak yang di uangkan. Kita bisa lihat di tempat wisata, rest area tol, bahkan di pinggir jalan sekalipun, seseorang yang ingin buang air di tempat tersebut harus dikenakan tarif. Buang air kecil 2000; Buang air besar 3000; begitulah bunyi tulisan di kertas yang ditempeli di dinding toilet.

Sama hal nya seperti parkir, toilet umum pun sebenarnya tak selamanya berbayar. Ada juga seperti di mall, SPBU, yang ketika kita ke toilet tempat itu, kita tidak dikenakan biaya se-peserpun. Sebab hal itu sudah menjadi bagian pelayanan bagi pengunjung yang datang ke tempat tersebut. Walaupun sebagian besar toilet mall itu gratis, namun jangan salah, ada juga salah satu mall yang dikenakan tarif ketika kita ke toilet tersebut. Mahal lagi tarifnya.

Pernah saya lihat di media sosial, ada mall yang toiletnya super mewah, hingga pengunjung yang ingin buang air ke toilet itu dikenakan tarif sebesar 7500. Tentu ini mengejutkan kantong atau dompet pengunjung yang uangnya pas-pasan. Akan tetapi, hal tersebut bukanlah sebuah permasalahan berarti bagi orang yang mampu. Biarkan yang punya banyak uang, buang air di toilet yang dilabeli 'premium' itu.

Akan tetapi, ketika pihak mall itu adil dalam melayani pengunjungnya, tentu pihak mall tersebut akan menyediakan juga toilet lain yang gratis, yang tidak dikenakan tarif. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung yang tidak punya uang lagi di dompetnya itu bisa dengan mudah ke toilet tersebut. Coba bayangkan, apabila kita di posisi tidak ada uang lagi yang tersisa, namun di mall tersebut hanya ada toilet premium, sementara kita sudah kebelet untuk buang air; apa yang harus kita lakukan? masa harus buang air sembarangan di sekitar mall tersebut.

Pada akhirnya, begitulah sekelumit gambaran hidup di zaman sekarang. Hal yang remeh temeh saja sampai dikenakan tarif; apalagi hal-hal yang vital lainnya. Mungkin kalau kita pikirkan, hanya ketika kita bernafas saja yang gratis. Selebihnya, semuanya bisa dicuankan; semuanya bisa di duitkan; semuanya bisa dikomersialkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun