Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diamlah, Maka Kita Akan Selamat

9 Februari 2023   17:52 Diperbarui: 9 Februari 2023   18:00 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Canva

Dalam hari-harinya di sekolah, Brian terkenal dengan julukan 'singa podium mini'. Kenapa disebut mini? Sebab podium itu diibaratkan sebagai kelas dalam lingkup sekolah. Oleh teman-temannya lah gelar itu diberikan secara spontan kepada Brian. Teman-temannya merasa takjub dengannya, sebab hanya Brian lah yang mempunyai kemampuan berbicara yang paling baik diantara siswa lainnya. Dengan gambaran materi yang ada di slide; dengan ketenangannya dan mulutnya yang memang fasih; Brian mampu menjelaskan point yang ada di slide dengan bahasa yang mudah untuk dipahami oleh temen-temennya yang mendengarkan. 

Sebutan 'singa podium mini' memanglah sebutan untuknya di dalam kelas, namun Brian pun juga mempunyai julukan lain yang diberikan oleh teman-teman kelasnya yaitu sang 'provokator handal'. Tentu julukan ini didasarkan karena Brian sering kali memprovokasi teman-temannya untuk tidak berteman dengan seseorang yang bernama Rifqy, yang pada kenyatannya masih teman sekelas. Pada lain waktu pun, Brian pernah menyindir Rifqy dengan kata-kata yang tajam di salah satu akun media sosial miliknya dengan kata sindiran, "Masih jaman aja hari gini caper ke guru, mau ngapain sih." 

Berawal dari sindiran yang dilakukan oleh Brian inilah yang memicu teman-teman sekelas lainnya, yang tadinya bersikap biasa-biasa saja dengan rifqy, jadi malah ilfeel dan terkesan menjauhi Rifqy. Tentu Rifqy tau dan sadar sindiran yang dibuat oleh Brian ini ditujukan untuknya, tetapi dengan kesabarannya yang cukup tinggi, Rifqy memilih untuk diam dan tidak membalasnya.

Begitulah kedahsyatan mulut dan jari yang kita miliki. Dengan kedua itu, kita bisa membuat orang lain terpesona dengan kita; tetapi tak disangkal, dengan kedua itu pula, kita juga bisa membuat orang lain terhina oleh ucapan dan ketikan kita. Apalagi pada zaman sekarang ini, banyak sekali kita lihat baik secara langsung maupun di media sosial, orang-orang yang menggunakan mulut dan jarinya untuk mengihina, memaki, dan memfitnah orang lain. Berita-berita hoaks yang sering kita lihat pada hari ini atau mungkin pernah juga kita mengirimnya ke grup-grup kita, itu akibat ulah jari kita juga.

Mungkin ketika kita merenungkan dan mengintrospeksi diri, kita pasti menyadari bahwa kita masih belum selamat dalam menggunakan mulut dan jari kita di kehidupan sehari-hari. Kita masih sering membuka mulut kita untuk berbicara hal-hal buruk ketimbang hal-hal kebaikan. Kita lebih sering membungkam mulut orang lain daripada membungkam mulut kita sendiri. Kita gemar sekali menasehati orang lain agar kita dibilang orang yang bijak ketimbang menasehati diri kita sendiri. Begitupun dengan jari kita, kita lebih sering menggunakannya untuk ghibah dengan teman kita di WA ketimbang menulis hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita dan orang lain.

Dengan merenungi hal diatas, kita harusnya semakin sadar, bahwa diam adalah sesuatu hal yang lebih baik daripada menggunakan mulut dan jari kita untuk berbuat keburukan. 14 abad yang lalu, Nabi Muhammad SAW bersabda, Man kaana yu'minu billahi wal yaumil akhir falyaqul khoiron aw liyasmut -- Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam. Tentu, harusnya ini yang kita lakukan. Harusnya senjata inilah yang wajib kita tanamkan di dalam diri kita ketika kita tak mampu untuk berkata yang baik.

Sebagian besar dari kita mungkin belum sadar, bahwa ketika kita diam, kita akan selamat. Jadinya, kebanyakan orang pada zaman sekarang, mungkin termasuk diri kita sendiri, lebih memilih untuk tetap membalas ketika dicaci daripada mendiamkannya. Terkadang, kita meyakini bahwa dengan membalas cacian dengan cacian itulah kita membuktikan bahwa diri kita tak semudah itu untuk direndahkan oleh si pencaci ini. Namun, setelah dipikir-pikir, hal itu tidak perlu-perlu banget untuk kita lakukan. Sebab, ketika kita membalas cacian itu dengan balasan yang sama tajamnya, kita sama pencacinya dengan dia. Kita sama rendahnya dengan dia.

Memilih sikap diam ketika dicaci seperti yang dicontohkan rifqy diatas tentu tidak banyak dipilih oleh kita. Padahal, diam itu membawa berbagai kedahsyatan dan kemuliaan pada diri kita. Kita tak perlu mengambil pusing ketika ada orang lain menghina dan mencaci kita. Kita tak perlu sibuk untuk mengklarifikasi dan memberikan argumen kepada mereka yang tak menyukai kita. Sampai mulut keluar busa pun, melalui mulut kita yang memang tidak disukainya, mereka tetap membenci kita; mereka tetap akan terus tidak suka kepada kita.

Dari semenjak kecil, kita memang sudah diajarkan dan dilatih untuk berbicara oleh kedua orang tua kita. Tentu, dengan memasang prasangka yang baik, setiap dari orang tua kita pasti mengajarkan anaknya untuk selalu berkata yang baik dan sopan terhadap siapapun di dunia nyata; termasuk mengajarkan juga kepada anaknya untuk selalu bijak menggerakkan jari-jarinya ketika sedang berada di dunia maya. Namun, peradaban manusia pada hari ini, seperti pergaulan yang kelewat batas dan tontonan yang negatif, sedikit banyak memang telah mempengaruhi mereka, sehingga ketika ia berbicara, pasti banyak celakanya daripada selamatnya.

Perlu diketahui di zaman yang sudah dipenuhi oleh kecanggihan teknologi ini, konsep berbicara sekarang tentunya bukan diutarakan oleh mulut kita saja, akan tetapi jari-jari kita juga sama bahayanya; malah lebih pedas seperti boncabe level 10. Mungkin kita pernah melihat teman atau lainnya yang di dunia nyata adalah seorang yang banyak diamnya sedikit bicaranya; namun ketika sudah megang HP dan buka media sosial, dialah orangnya. Seolah-olah ia merasa dirinya yang paling ahli; yang paling tau duduk perkara permasalahan seseorang di medsos secara lengkap, sehingga harus berkomentar panjang dalam segala persoalan yang sedang terjadi.

Dalam hal di atas, siapapun tidak melarang ketika mereka berkomentar seperti itu, sebab pada zaman ini kita dibebaskan untuk berbicara dan menyatakan pendapat. Namun, ketika bicaranya {baca: komentar} kita di media sosial itu menimbulkan kegaduhan dan malah makin terjadi konflik sesama netizen yang turut ikut komen juga, buat apa? sama sekali tiada gunanya.

Dari semua itu, tentu pada akhirnya kita harus mencoba untuk belajar diam. Setidaknya, cobalah untuk diam dari pembicaraan hal yang tidak diperlukan; baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Setidaknya, ketika kita mencoba untuk banyak diam, dijamin kita tidak akan menyesal. Kita tak akan gundah gulana ketika menerapkan 'berbicara seperlunya'. Kita pasti merasakan betul, sehabis kita berbicara bersama teman kita di saat kumpul-kumpul; sehabis pulang dari situ, pasti kita merasa tidak enakan. "tadi dia sakit hati gak ya karena bercandaan gua", "dia merasa risih sama gua gak ya, karena gua nasehatin dia mulu"; pasti rasa tidak enak itu akan selalu muncul ketika kita berbicara terlalu banyak.

Oleh karena itu, memang sepantasnya kita harus mengistirahatkan mulut kita, apalagi di zaman yang penuh kebisingan ini. Sebagaimana manusia punya hak, mulut kita juga punya hak yang harus kita penuhi: diam. Sedari kecil, kita terus membuka mulut untuk terus berbicara, tetapi susah sekali rasanya untuk menutup mulut kita sendiri.  Malah kita dengan mudahnya menutup mulut orang lain dengan mulut kita yang punya kuasa, entah itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Mau sampai kapan kita memanen dosa, sebab ulah mulut kita yang tidak bisa di kontrol?

Pada akhirnya kita menjadi tau, bahwa mulut dan jari yang kita gunakan untuk berbicara di dua dunia yang berbeda itu tidak selamanya bisa menyenangkan orang lain; tidak selamanya bisa berkata yang baik kepada orang lain. Karenanya, sikap diam merupakan langkah yang tepat untuk kita pencet tombolnya ketika dalam suasana pembicaraan yang tidak perlu. 

Kurangi kesoktahuan kita dengan sikap diam; kurangi berkata buruk kepada orang lain dengan menahan mulut dan jari kita dengan sikap diam. Sebab, Salamatul insan fi hifdzil lisan - selamatnya manusia tergantung bagaimana ia mampu menjaga lisannya, begitulah hadis yang disampaikan oleh sang manusia termulia, Nabiyyuna Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salam. Jadi, kapan mau diam?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun