Bukannya mulus dan lancar perjalanannya, malah Busway yang diharapkannya tidak kunjung tiba di tempat pemberhentian plang Busway di samping stasiun tersebut. Dua menit, lima menit, sepuluh menit ia tunggu saja busway itu, namun tak kunjung tiba. Memang perlu diketahui juga, bahwa Ojan menunggu Busway ini bukan di Halte yang sebagaimana mestinya. Yang ada petugas, ada tempat menempel kartu untuk masuk, koridor. Tidak, disana tidak ada Halte. Hanya ada plang biru bergambar Busway yang bertuliskan "Bus Pengumpan Transjakarta". Â Maka ia putuskanlah untuk berjalan saja ke arah pusat ibukota. Karena pikirnya, disana ada halte yang sesuai dengan ekspetasinya. Setelah berjalan satu kilometer setengah, ternyata memang benar ada halte disana. Gembiralah dan tenang hatinya. Setelah semakin dekat langkah nya dengan halte, dilihat-lihat kok sepi sekali halte ini, tak ada petugas dan tak ada penumpang yang menunggu.Â
Tiba-tiba saja setelah ia sudah menunggu lima menit disana, seorang satpam menghampirinya. Mungkin Satpam itu tau kalau ojan lagi menunggu busway datang dan ia juga terketuk hatinya melihat muka ojan yang mulai gelisah merana, maka tepuklah pundak ojan dari belakang.
"Mas, kalau nunggu Busway yang lewat di halte ini, sampe dua jam kemudian gak bakalan lewat mas. Karena memang biasanya kalau hari libur, Busway tidak beroperasi."
Menyadari hal itu, Ojan agak sedikit lesu. Ternyata ia salah mengambil langkah dan merasa rugi sekali kenapa tadi memutuskan untuk turun dari Kereta. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pak satpam, Ojan melanjutkan perjalanan. Mau tidak mau, ia harus berjalan sekitar dua Kilo meter lagi, untuk menuju Halte yang saat libur busway nya masih beroperasi. Setelah berjalan dan sesekali berlari kecil, Â Lima belas menit pun di tempuh untuk bisa sampai di halte JCC.
Sesampainya di halte dan ketika menaiki Busway, Ojan baru menyadari mengapa kemalangan menimpa dirinya. Kebebasan yang dia kehendaki ketika hendak bermain, ternyata terhalang oleh perizinan orang tua yang tidak memperbolehkannya. Sehingga akibat dari tidak diizinkan, maka bermain yang dalam pikirannya adalah sebagai healing pada awalnya berubah menjadi hening dan membuat nyeri tulang kering. Bayangkan, kurang lebih enam kilometer di saat malam ia berjalan untuk mencari halte saja. Apakah ini ada kaitannya dengan masalah perizinan? yang membuat Ojan jadi salah mengambil keputusan. Apakah tiga kali kesialan yang dialami Ojan ada hubungannya dengab izin? Wallahu A'lam. Hanya Allah yang tau.Â
Pada akhirnya, Ojan memang tau, bahwa Ridho Allah tergantung pada ridho orang tua. Sempat ia berpikir bahwa saat kejadian kecelakaan tersebut, ia masih selamat dan tidak kenapa-kenapa. Mungkin begitulah Allah mengingatkan kepadanya. Tapi ada satu hal yang perlu diketahui, Ia sejatinya adalah anak penurut, yang sering sekali menuruti perintah kedua orang tuanya. Namun, untuk kali ini, Ojan berpikir Kalau ia dikekang dan tidak diizinkan terus menerus, ia akan tergerus oleh pengalaman-pengalaman di dunia luar yang tidak ia dapatkan dirumah dengan membaca buku. Selama ia masih terus dilarang, selama itu pula ia tidak menghirup udara kebebasan yang nyata. Yha begitulah nasib Ojan, si anak yang serba diatur. Serba di awasi. Serba di telponi. Kebebasan yang belum ia dapatkan pada usianya yang sudah menginjak dua dasawarsa. Memang malang betul jadi Ojan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H