Mohon tunggu...
Muhammad Ryhan Aghani
Muhammad Ryhan Aghani Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya butiran debu di alam raya.

SAU♥️

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penafsiran dalam Hukum

8 Desember 2022   18:31 Diperbarui: 8 Desember 2022   18:37 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: geotimes.id

Dalam ilmu hukum tentunya tidak jauh dari tulisan yang terdapat dalam undang-undang, yang mana tulisan-tulisan yang terdapat dalam undang-undang bertujuan gunan mengatur suatu persoalan yang telah disepakati bersama. Namun bagaimanakah cara memaknai tulisan-tulisan yang terdapat dalam undang-undang itu, apakah para pembaca boleh menafsirkan sesukahati terkait dengan isi kandungan dalam undang-undang? Hal inilah yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini.

Sebelum melangkah lebih jauh sebaiknya kita memahami apa itu yang dimaksud dengan penafsiran atau dalam Bahasa inggris disebut dengan interpretation, secara etimologi tafsir berasa dari kata al-fast diartikan sebagai " menyikap sesuatu yang tertutup" sederhananya ialah upaya mengartikan atau memaknai sesuatu hal dengan cara menafsirkan, Adapun jika kita gandengkan kata penafsiran dengan hukum atau penafsiran hukum maka dapat diartikan ilmu tentang penafsiran guna mengartikan maksdu daripada undang-undang dalam hukum.

Dalam hukum sendiri kita mengenal empat metode/cara dalam penafsiran yaitu gramatikal, sistematis, historis, dan yang keempat teleologis atau bisa disebut interpretasi sosiologis.

Penafsiran gramatikal

yaitu penafsiran yang metode menafsirkan ketentuan undang-undang dengan cara menguraikanya menurut Bahasa umum sehari-hari. Penerapan penafsiran gramatikal pernah terjadi di Belanda yaitu pada putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) 30        Januari 1996 penafsiran tentang definisi "mayat"  kasus dalam pasal 151 KUHP Belanda.

Saat itu seorang penasehat hukum terdakwa menyatakan dimuka persidangan bahwasanya terdakwa harus dibebaskan karena dalam pasal 151 KUHP Belanda yang di dakwakan hanya menyebutkan mayat sedangkan terdakwa kala itu hanya terbukti membawa badan tanpa kepala, penasihat hukum tersebut berpendapat bahwa badan tanpa kepala bukan merupakan mayat ia berpendapat bahwasanya mayat merupakan bagian tubuh secara utuh, maka dari itu  perbutan kliennya tidak sesuai dengan pasal 151 KUHP Belanda.

 Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) menilai bahwa baik menggunakan aturan hukum maupun menggunakan Bahasa secara umum tidak membatasi bahwasanya definisi jenazah yang sudah terpotong-potong tidak dianggap sebagai "mayat" sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 KUHP Belanda, Mahkamah Agung Belanda merujuk pada kamus Besar Bahasa Belanda bahwa arti kata "mayat"  tidak harus dipahami sebagai satu bagian utuh dari keseluruhan tubuh manusia, maka dari itu pendapat dari penasihat hukum tidak diterima.

Penafsiran Sistematis

Yaitu penafsiran ketentuan undang-undang  dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang yang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum, maka dapat dimaknai bahwa Ketika kita akan menafsirkan, kita tidak hanya mengacu pada pasal yang akan ditafsirkan semata, tetapi juga harus melihat pasal-pasal lainnya dalam undang-undang yang sama atau undang-undang lain.

Penulis sendiri mencoba mencontohkan implementasi daripada penafsiran sistematis ini terhadap ketentuan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pasal Pasal 188  ayat (1) Setiap Orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Jika menafsirkan secara liar tentunya hal ini akan memunculkan masalah dalam masyarakat karena dapat dianggap sebagai pembatasan kebebasan ilmu pengetahuan, namun jika membaca secara sistematis dalam ketentuan berikutnya dalam pasal tersebut tepatnya dalam ayat 6 telah melimitasi sebagai berikut "Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan".

Maka jika kita menafsirkan secara sistematis antara ayat dengan ayat tidak ada salah tafsir daripada ayat yang dipersoalkan.

Penafsiran Historis

Yaitu penafsiran yang menelaah dari sudut tujuan diadakanya ketentuan undang-undang tertulis, meliputi menelaah melalui sejarah hukum pembentukanya, melihat dari sudut historis masyarakat pada masa lampau dimana tempat terbentuknya undang-undang tertulis yang akan ditafsirkan. Penulis mencoba menggambarkan secara sederhana terkait denga penerapan metode penafsiran historis ini, Kejahatan kesusilaan, zina (overspel) yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, misalnya. Dalam ketentuan pasal tersebut yang dianggap sebagai perbuatan zinah ialah apabila perbuatan persetubuhan dilakukan oleh orang yang telah menikan.

Sedangkan orang yang belum terikat pernikahan tidak dianggap sebagai perbuatan zina, dari sudut sejaranya KUHP di Indonesia tentu tidak dapat lepas dari konsep bangsa Eropa, dikarena KUHP saat ini merupakan turunan dari KUHP yang diterapkan di Negara Belanda maka hal yang wajar apabila cara pandang soal perzinahan mengalami perbedaan dengan konspe perzinahan yang ada di Indonesia sendiri. Maka dari  itulah dibutuhkan KUHP baru yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.

Penafsiran Teleologis

Yaitu penafsiran terhadap ketentuan undang-undang dengan cara melihat tujuan yang melatar belakangi terbentuknya undang-undang tersebut, penulis mencoba menggambarkna secara sederhana terkait dengan penerapan metode penafsiran teleologis sebagai berikut, sering kita jumpai terkait dengan himbauan hukum di suatu taman berbunyi "dilarang menginjak rumput di taman ini" jika kita menafsirkan secara sembarangan tentu akan muncul anggapan bahwa duduk diatas rumput tidak di hukum.

Namun pada hakikatnya jika kita melihat dari segi tujuan dibentuknya aturan tersebut bertujuan untuk menjaga kualitas rumput yang ada dalam taman tersebut bukan hanya agar rumput tersebut tidak di injak oleh pengunjung, maka dari itu segala perbuatan yang berimplikasi atau berdampak pada rusaknya rumput di taman tersebut dilarang oleh si pembuat aturan.

Sekian dari saya, 'Salus Populi Suprema Lex Esto'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun