Mohon tunggu...
Muhammad AgusSetiawan
Muhammad AgusSetiawan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Haloo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kedua Kalinya

24 September 2022   12:00 Diperbarui: 25 September 2022   06:32 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                “Kedua Kalinya”


Saya akan menceritakan sebuah kisah yang tidak bisa dilupakan.


          Beberapa tahun ke belakang tepatnya pada tahun 2012, saya merupakan seorang anak berumur tujuh tahun tinggal di sebuah kampung yang berada di desa Padalarang. Saya merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, namun kakak saya harus pergi terlebih dahulu bahkan sebelum kakak saya lahir ke bumi. Saat itu hanya saya, adik, Ibu dan Bapak saya  saja. Saya senang karena bisa bersama dengan orang tua yang sangat menyayangi saya dan adik saya
          Adik Saya memiliki nama lengkap Saepul Imam Mughni namun biasa dipanggil Epul. Ia lahir pada 11 Juli 2009, selisih 4 tahun dengan saya. Dia tumbuh dengan kuat, pintar dan tampan tentunya. Namun dia sedikit berbeda dengan anak lain seusianya, dia tidak bisa beraktivitas normal seperti anak tugas tahun. Ibu saya berkata bahwa adik saya mengidap suatu penyakit tapi Ibu saya  tak memberi tahu nama penyakitnya, katanya anak kecil tak perlu tahu.
“Mah, dek Epul itu kenapa sih?” tanya saya pada Ibu
“Pokoknya dek Epul itu anak spesial, kamu jangan tahu dulu ya, masih kecil.” Jawab Ibu.
          Begitulah kira-kira, katanya adik saya itu anak yang spesial. Saya tidak mengerti maksud perkataan Ibu saya, namun yang pasti itu tidak menjadi penghalang adik saya untuk beraktivitas. Dia memiliki kesukaan yang sama seperti saya yaitu hal-hal berbau seni, hobinya adalah mendengarkan musik dengan headset favoritnya yang merupakan pemberian dari Bapak kami. Namun musik yang disukainya pun berbeda, adik saya lebih menyukai musik tradisional Sunda. Menurut Ibu saya musik Sunda favoritnya ada dua yaitu Papatong Koneng dan Dina Amparan Sajadah. Hampir setiap hari adik saya mendengarkannya.
          Sabtu pagi, saya terbangun menuju ruang tengah mencari Ibu saya di tengah keramaian kerabat-kerabat saya. Untuk informasi waktu itu di daerah rumah saya yang sudah memiliki televisi hanya keluarga saya, jadi wajar jika setiap pagi akan banyak kerabat dan keluarga saya yang sudah memenuhi ruang tengah. Setelah menemukan Ibu, saya diantarnya pergi ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Saya berada di kelas tiga sekolah dasar waktu itu, sekolah saya memang agak jauh dan2 tersembunyi jadi Bapak saya selalu mengantarkan saya karena masih merasa khawatir. Setelah selesai, saya bersiap pergi tapi sebelum pergi Ibu sayaberkata sesuatu pada saya.
“A besok kita ikut gerak jalan yuk, sama dek Epul juga,” ujar Ibu (Saya memang dipanggil Aa oleh ibu ataupun Bapak saya)
“Dimana Mah, Bapak ikut juga?” Tanya saya.
“Bapak nggak ikut, kerja soalnya" jawab Bapak saya.
“Di Pusdik.” Lanjut Ibu.
“Yuk!!” Jawab saya antusias
Jika kalian bertanya kenapa Bapak saya kerja di hari minggu, itu karena pekerjaan bapak saya seorang kuli bangunan. Hari liburnya hari jumat.
          Keesokan harinya, minggu pagi seusai solat subuh Ibu menyuruh saya untuk segera bersiap untuk mengikuti kegiatan gerak jalan. Sementara dia menyiapkan perbekalan selama kita di sana  agar tidak banyak jajan, katanya sayang uangnya. Sampai akhirnya matahari menyapa hari minggu pagi kala itu, juga saudara yang telah datang mengajak pergi bersama menuju tempat kegiatan. Waktu semakin siang, matahari menyengat tubuh saya. Akhirnya gerak jalan pun dimulai. Saya, adik saya juga Ibu saya dengan semangat segera berjalan mendahului orang-orang, entah kenapa saya sangat antusias kala itu. Kita tidak mengharapkan hadiah yang telah di sediakan oleh panitia, kita hanya ingin menyenangkan diri kita menciptakan kebahagiaan untuk dikenang nantinya.
          Kegiatan selesai, kita telah sampai di garis finish dengan lelah namun bahagia. Kita beristirahat di bawah pohon rindang, menikmati bekal yang tadi disiapkan oleh Ibu. Tak lama Ibu saya segera mengajak saya menuju suatu tempat, katanya ada sesi foto gratis untuk peserta. Jadi dia ingin segera dapat antrian paling depan. Saya bingung karena makanan saya belum habis, tapi sudah buru-buru di bungkus kembali oleh Ibu saya gara-gara sesi foto ini. Hingga akhirnya tiba giliran Ibu saya, adik saya dan saya berfoto, kita diberi kesempatan dua kali foto. Foto pertama ada kita bertiga di dalamnya, namun foto kedua yang akhirnya di cetak hanya ada Ibu saya dan adik saya. Saya tidak ikut karena malu, say paling tidak suka di foto.
          Selesai berfoto kita kembali ke tempat kita beristirahat, namun belum sampai di bawah pohon rindang, Ibu saya mengajak saya pulang. Wajahnya yang cemas menggambarkan ada hal yang tidak baik. Benar saja.
“A ayo pulang, si dede demam kayanya,” ucap Ibu
“Ayok, Aa juga cape.” Jawab saya
“Sebentar, Mamah telefon dulu bapak. Minta jemput.” Lanjut Ibu
“Oke.” Lanjut saya
          Akhirnya Bapak saya datang dengan motornya, kita bertiga segera kembali ke rumah untuk mengobati adik saya. Sampai di rumah Ibu saya segera membaringkan adik saya dan menyuruh Bapak saya mengambil air hangat untuk mengompres adik saya. Tadinya saya ingin bermain dengan teman saya, namun Ibu menyuruh saya untuk tidur siang karena kemarin sabtu saya sok-sok an begadang hingga pagi. Sayapun menurut karena saya merasa mengantuk juga.
          Sore hari saya terbangun juga dengan kondisi adik saya yang akhirnya membaik. Saya senang tidak terjadi apa-apa pada adik saya. Dia dijaga oleh bapak yang izin untuk tidak bekerja. Sementara Ibu saya sedang memasak di dapur untuk makan malam nanti. Saya menghampiri adik saya lalu menyentuh dahinya memastikan bahwa dia benar-benar sembuh.
“Pak...” Ucap adik saya sambil memberi isyarat bahwa dia ingin mendengarkan musik dengan headset favoritnya. Bapak saya yang mengerti segera mengambil headsetnya dan langsung menyambungkannya ke Handphone Ibu saya.
“Bentar pak, foto dulu Epulnya nanti saya cetak buat d simpen.” Ucap ibu pada Bapak saya
“Sok cepet, kasian pengen denger musik.” Jawab Bapak
Dengan cepat Ibu mengambil gambar adik saya yang sedang menggunakan headset, namun tidak disambungkan ke Handphone. Lalu Bapak saya pun segera memutarkan lagu Sunda untuk adik saya. Dia mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti irama  musik yang di dengarnya.
          Sadar bahwa ada saya, Ibu saya segera menyuruh saya untuk mandi dan bersiap untuk melaksanakan solat maghrib berjamaah di mushola dekat rumah. Karena takut sayapun segera berlari ke kamar mandi, saya membersihkan tubuh saya lalu diikuti dengan berwudhu. Selesai memakai baju, sayapun izin pergi untuk solat karena teman saya telah memanggil di luar rumah.
“Sudah solat pulang, makan dulu.” Ucap Ibu sebelum saya pergi.
“Iya mah.” Jawab saya.
          Makan malam di mulai, saya buru-buru mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan juga lauknya. Ibu menyuapi adik saya, Bapak masih fokus dengan acara sepak bolanya. Suasana malam itu sepi, mencekam berbeda dari malam lainnya. Namun saya tidak berfikiran aneh, mungkin akan terjadi hujan. Itu yang ada dalam pikiran saya.
          Suasana semakin mencekam ketika Ibu berteriak pada Bapak saya, meneriakkan nama adik saya “Epul". Saya terkejut Ibu menangis melihat adik saya yang sedang kejang-kejang. Bapak saya langsung memangku adik saya pergi ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan. Saya dibawa Ibu lalu dititipkan ke saudara saya yang memang jarak rumahnya.
“Kenapa si Epul?” Tanya saudara saya
“Nitip dulu anak saya, saya ke puskesmas dulu.” Jawab Ibu berurai air mata.
“Iya, nanti kabarin kalau kenapa-napa ya.” Lanjut saudara saya
          Tanpa menjawab Ibu pergi juga dengan Bapak yang menaiki motor menuju puskesmas. Saya menunggu di rumah saudara saya, ditawari tidur, makan, ataupun minum saya menolak karena masih cemas akan keadaan adik saya saat itu. Saya diam di luar, di temani saudara saya yang sama khawatirnya. Akhirnya saudara saya mendapat kabar dari Ibu lewat telepon.
“Assalamualaikum, Teh gimana anak saya udah tidur?” Tanya Ibu
“Belum, ini ada di depan. Di suruh makan, minum gamau. Maunya di luar.” Jawab saudara saya
“Coba Teh, saya mau ngobrol sama anak saya.” Ujar Ibu
“Sebentar, Dek ni ibu mau ngobrol.” Ucap saudara saya
“Mah, kapan pulang? Dek Epul gimana?” Tanya saya
“Dek Epul gak kenapa-napa, mamah pulang sebentar lagi. Kamu tidur duluan besok sekolah.” Ucap Ibu saya
“Iya, ini udah.”Ucap saya sambil memberikan handphone pada saudara saya
          Karena rasa kantuk yang luar biasa, akhirnya saya pun memutuskan untuk tidur. Saya minta ditemani oleh saudara saya untuk tidur di rumah saya. Rasa cemas saya belum hilang, tapi saya tidak kuat menahan kantuk itu. Saya pun tertidur dengan lelap, seolah lupa akan semua hal tadi.
          Keesokan harinya, pagi buta sekali saya terbangun. Seperti biasa rumah saya penuh oleh saudara saya, namun yang berbeda hari itu mereka semua menangis. Saya bingung mencari orang tua saya. Akhirnya saya bertemu Bapak yang langsung memangku saya lalu membasuh wajah saya dengan air dari sebuah ember yang saya tidak tahu itu untuk apa. Sebuah kain membentang panjang, membentuk persegi seolah menutupi sesuatu. Ibu yang pingsan dikerumuni saudara perempuannya. Hingga akhirnya menyadari sesuatu, adik saya. Mereka semua menangisi adik saya.
           Adik sata meninggal, dia pergi meninggalkan saya sendiri. Meninggalkan ibu bapaknya yang menyayanginya. Itu terjadi begitu cepat, sehingga saya tidak dapat menerimanya. Orang-orang akan memandikannya. Saya tetap dipangku oleh Bapak memastikan agar saya tidak kenapa-kenapa.
          Proses memandikan selesai, Ibu saya pun telah siuman. Proses berikutnya menyolatkan, saya pergi mengganti baju bersiap untuk ikut menyolatkan. Sementara Bapak saya membantu Ibu untuk bersiap. Kita menyolatkannya, masih terdengar suara tangisan dari barisan perempuan. Saya yakin itu adalah Ibu saya. Proses menyolatkan pun selesai, kita bersiap membawa jenazah adik saya menuju tempat peristirahatannya. Saya menuntun Ibu, saya sebenarnya  tidak sanggup melihat Ibu menangis tapi saya juga tidak mau untuk jauh dari Ibu. Bapak membantu mengangkat keranda jenazah.
          Proses pemakaman selesai, kita pulang dengan rasa duka yang masih mendalam. Hari itu menjadi hari berat bagi saya, tentu bagi orang tua saya juga. Mereka kembali kehilangan buat hatinya untuk kedua kalinya. Hanya tersisa saya, saya harus bisa bertahan agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Saya tidak mau melihat orang tua saya  kehilangan lagi. Orang tua saya terutama ibu yang sekarang selalu menjadi motivasi saya  untuk tetap semangat menjalani hidup. Mereka yang selalu sedia dan yang selalu menyemangati saya . Ibu selalu menjadi penerang dalam hidup saya ketika saya kesulitan. Bapak yang sedia menjaga serta membela saya ketika terjadi sesuatu pada saya.
          Sejak kejadian itu, saya punya pandangan yang sangat aneh tiap kali seseorang bertanya kepada saya tentang keinginan saya untuk mempunyai adik lagi. Pandangan itu tidak bisa hilang, saya sudah mencoba tapi tetap tidak bisa. Kejadian itu juga mengubah saya dari yang sebelumnya cuek terhadap adik saya atau anak kecil kini saya menjadi orang yang agak sensitif jika itu berhubungan dengan anak kecil.
          Kejadian yang saya alami ini juga membuktikan bahwa kematian bisa datang pada siapa saja dan kapan saja. Tidak memandang muda atau tua, sehat atau sakit juga kaya atau miskin. Jadikan ini sebagai pengingat kita untuk selalu beribadah pada Tuhan. Jangan lalai apalagi sampai abai dengan akhirat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun