Tentu tidak, bahkan empat kantung jeruk masam sekalipun tidak dapat membayar satu guci yang indah yang dibuat dengan modal yang besar dan proses yang panjang ini. Inilah yang disebut "ketidakadilan" dalam  sistem Barter, oleh karna itu barter ini tidak bisa menjadi dasar perekonomian yang kompleks.
Karena ketidak-efektifan dari sistem barter, masyarakat mulai memikirkan cara untuk dapat bertransaksi. Alhasil masyarakat pun berpikir untuk menciptakan suatu benda yang menjadi perantara untuk bertransaksi antar komoditas satu sama lain. Disitulah kelahiran benda ajaib yang bernama "uang".Â
Akan tetapi kebanyakan orang modern berpikir bahwa uang hanya ada dua jenis yakni uang Kartal yang terdiri dari uang kertas dan logam yang dikeluarkan bank sentral negara (seperti Bank Indonesia) yang beredar dimasyarakat sebagai alat pembayaran yang sah.
 Satu lagi yakni uang giral dimana uang ini memiliki bentuk yang berbeda dari uang konvensional, namun umumnya uang ini berbentuk saldo dari rekening bank yang dapat dicairkan dan dapat  digunakan sebagai alat pembayaran misalnya seperti cek, giro, bilyet dan surat perintah pembayaran. padahal dalam sejarahnya manusia dimasa lalu ternyata menggunakan benda yang bervariasi sebagai alat transaksi.Â
Maka disini masih timbul pertanyaan, bukankah sebuah mata uang yang dipakai oleh masyarakat ini menjadi bernilai apakah hanya terbatas karena "bendanya" saja? Sedangkan bukankah bentuk uang itu sendiri dapat berubah dan berbeda dari masa ke masa, maka disini apa sebenarnya esensi dari uang yang membuatnya bernilai di masyarakat?
Untuk menjawab itu kita membutuhkan pendekatan Sejarah dan filsafat. secara filosofis nilai sebuah mata Uang bukan berasal dari benda  tersebut melainkan presepsi manusia terhadap uang tersebut. Dengan kata lain secara ekstrim bisa kita bilang "Uang bukanlah sekeping logam dan lembaran kertas, melainkan UANG adalah KEIMANAN!"
Sebuah mata uang baik sekeping logam mulia ataupun selembar kertas berwana dapat dimaknai berharga karna manusia yang mempresepsi atas "mitos" kepercayaan tersebut bahwa benda itu berharga. Intinya berharganya sebuah uang bukan berdasarkan "bendanya" melainkan pemaknaan dari "pikiran" manusia itu sendiri.Â
Begitu pun dengan logam mulia (emas, perak, intan, mutiara, permata, dll) mereka semua menjadi berharga karena pemaknaan manusia terhadap benda tersebut, mungkin dianggap indah (estetik) dan sebagainya sehingga membuat benda tersebut mahal dan berharga.
Itulah mengapa dalam sejarahnya bentuk-bentuk mata uang di berbagai belahan dunia ada bermacam-macam. Ditinjau dari Sapeins karya yuval harari (2017), mengungkapkan bahwa manusia menggunakan mata uang sebagai alat transaksi dengan rupa yang berbeda-beda dari masa ke masa. Semisal cangkang kerang, kulit, manik, garam, kain dan surat sanggup bayar.Â
suku aztek di meksiko umumnya membayar menggunakan biji kakao ataupun gulungan kain dan bukannya emas. Itu karena mereka menganggap bahwa emas hanya sekedar barang pajangan yang cantik saja, namun ia tidak bisa dimakan ataupun ditenun itulah sebabnya emas tidak lebih berharga dibandingkan biji kakao dan segulung kain sebagai alat pembayaran.
maka uang yang kita gunakan sekarang ini merupakan bentuk "kesepakatan" untuk digunakan dalam bertransaksi barang dan jasa. uang yang kita miliki sekarang ini masih tetap bisa digunakan walaupun standard monetery system dunia yang berlandaskan dollar tidak lagi menggunakan pijakan emas sebagai landasan penjaminan. atau dalam artian bank dapat mencetak sebanyak-banyaknya uang kertas.