Mohon tunggu...
Muhammad affan
Muhammad affan Mohon Tunggu... Lainnya - Sering di pojok kiri kampus sambil makan gorengan

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebetulan

30 November 2020   21:28 Diperbarui: 30 November 2020   22:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap saya berkunjung kekota selalu identik dengan bangunan, gedung dan monumen gagah berjajar menyapa kota. Namun, saya merasa ada marwah yang hilang didalamnya. Bangunan itu seperti sejarah penindasan.

Masa itu, ketika tinggal disurabaya, saya menyempatkan jalan berkeliling dari bangunan satu ke bangunan lain. Menuju monumen Tugu Pahlawan yang heroik gagah perkasa. Dialasi beton keras dan rumput hijau. Di kelilingi jalan Raya padat kendaraan. Konon pertumpahan darah terjadi disana.

Namun yang transenden, mungkin yang menyulap jajahan menjadi kota perjuangan. Mengalahkan imajinasi; khusus tentang bangunan itu. Bangunan itu merupakan imajinasiku saat ini.

Imajinasi-bagian dari sejarah.
(Van Wouden, 1935)

Setiap orang berbicara sejarah, menurutku adalah "perjalan panjang", mendikte suatu Negara untuk merdeka dari kaum imperium-kapitalis.
Para pemikir- seperti Marx dan Hegel sering melihat disana terbentang jalan-jalan besar "kebenaran";  dari penindasan ke kemerdekaan, dari jahiliyah menuju terang benderang (Bahkan sebaliknya).

Tapi apakah benar?  seperti monumen sejarah yang diceritakan buku sejarah adalah  sebuah ikhtisar. Semakin saya berkepala 2 semakin saya menemukan sisi lain dari pada itu; "kita hidup bukan dijalan Raya kebenaran; namun kita hidup di lorong dan tikungan kebetulan".

Sejarah tak punya arah Kompas. Kompas itu bertolak dari asumsi semua bisa dibenarkan dari ujung utara menuju Selatan. Dari ketidak adilan menuju pergolakan kiri.

sesungguhnya kita tidak sedang berhalusinasi terbang. Kita sedang berjalan dengan sadal tipis, tak jarang dengan lensa buruk. Kaki kita akan bertemu dengan apa yang tidak diarahkan oleh Kompas; bukit terjal atau landai, lobang di aspal, kerikil di persimpangan dan hal-hal tanpa diduga melintas lintang. Kita bisa tersesat bukan karna Kompas tidak akurat, tapi cara kita membaca keliru. Bahkan skeptis dalam memahami.

Kita adalah mahluk yang diberkahi dengan kemampuan transenden, disisi lain kita adalah mahluk social Artinya entitas manusia berada pada dimensi ketuhanan dan dimensi social (baca; homo homini socius). Dalam dimensi itulah tersusun bangunan theori, atau filsafat tentang apa yang bermula, apa yang berproses, Apa Yang menjadi ujung; "jalan kebenaran". Dengan itulah Marx dan Hegel mengasumsikan ada "akhir sejarah" ketika ikhtiar manusia berakhir,  sebab Yang dihasratkan terpenuhi.

“Di abad ke-21, perasaan bukan lagi algoritma terbaik di dunia.”Yuval Noah Harari, Homo Deus.


Seperti berdiri didepan bangunan Dan Monumen sejarah, ada marwah Yang hilang didalamnya; kehidupan Yang tidak bisa di perumpamakan. Kebetulan adalah jalan menuju kebenaran (sebagai antithesis bagi kebenaran) tak di akui, di bungkam,  Dan hal-hal Yang baru dianggap Me-Nyim-Pang ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun