Sebuah bus berwarna putih bercorak biru mengarah ke sebuah terminal. Lampunya masih menyala terang. Padahal waktu itu keadaan sudah tidak petang lagi. Panas. Warung milik Bu Indri saja sudah dipasang tenda. Takut kalau-kalau pelanggannya pada lari ke tempat makan lain karena tempatnya yang mengarah lurus dengan sinar matahari. Orang-orang yang sedari tadi mengantri karcis juga mulai mengibas-ngibaskan apa saja ke tubuhnya yang keringatan. Tak tahan hawa panas yang menusuk. Ditambah ramainya pengunjung di terminal saat itu. Ada juga orang-orang yang berbondong-bondong untuk mandi di wc umum karena tak tahan panasnya matahari. Lain halnya dengan orang yang sedang berjajar menunggu giliran wc umum itu sambil mengusap keringatnya yang bercucuran dengan lengan bajunya.
Beda lagi dengan keadaan yang ada di dalam bus. Mesinnya menyala, supirnya tak ada. Beberapa orang yang ada di dalam bus itu mengeluh. Ada yang ngedumel. Sempat ada yang uring-uringan dengan kernetnya yang dari tadi hanya duduk santai di kursi paling depan. Tapi kernet itu masih tak menghiraukan omangan pedas dari seorang wanita setengah baya itu. Kernet tersebut masih asik dengan siulannya. Namun ada juga suara pedagang asongan berlalu lalang menawarkan dangannya.
“Pak! Buk! Monggo kacange wonten, ngombene wonten, lumpia ngge wonten, mentore ngge wonten. Monggo ditumbas!” Suara pedangan asongan yang sangat lantang sekali. Membangunkan lelaki kurus hitam yang ketiduran. Wajahnya masih pucat. Bajunya yang lusuh basah kuyub terkena iler.
“Mas! Kacangnya berapaan?”
“setunggal ewu mawon, pak!”
“beli, lima mas?”
“Enjeh, pak,” sambil menyodorkan kacang.
Waktu yang sekian lama, supir tersebut belum juga datang. Semakin banyak orang yang masuk dalam bus itu malah membuat parah keadaan. Banyak orang yang memilih untuk menunggu di luar sambil membeli minuman. Ada pula orang yang menunggu sopir sambil menghisap rokok, lalu mengebulkan asap itu ke arah depan. Sontak membuat Lelaki yang berbadan kekar yang duduk di depannya menjadi risih. Ia segera menutup hidungnya. Menutup rapat dengan tangannya yang dipenuhi tato.
“Eh! Mas! Lama kali kau ini berangkatnya, mana supirnya? Dari tadi tak muncul-muncul juga, penat aku menunggu! Ah!” Teriak seorang wanita gendut kepada seorang kernet.
Kernet itu malah semakin giat memainkan siulannya. Ia pura-pura tak mendengar teriakan wanita gendut itu. Ia mengerti bahwa supir yang lama ditungu-tunggu pun tak juga datang. Kernet itu berpikir kalau isi bus masih belum terisi penuh. Lalu, ia menoleh ke belakang tanpa menghentikan siulannya untuk memastikan tentang apa yang ia pikirkan. Matanya mulai bergerilnya mengkoreksi kursi yang masih belum terisi. Ia melihat semua kursi telah terisih penuh.
Terlihat seorang pemuda lagi yang melambai-lambaikan tangan kepadanya, “Akang Kernet! Sok atuh? Kumaha ini busnya? Supirna nuju naon atuh, kang?”