Inspirasi dari tema di atas adalah Ketika penulis mendengarkan pidato atau arahan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nazarudin Umar, MA., Ketika membuka acara Rapat Koordinasi Direktorat Jendral Pendidikan Islam pada malam hari Selasa tanggal 21 Januari 2025. Perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kepunahan spesies adalah tanda-tanda krisis ekologis yang semakin mendalam. Dalam konteks ini, eco teologi muncul sebagai jalan spiritual yang menghubungkan iman dengan tanggung jawab ekologis. Eco teologi memanfaatkan pandangan teologis dari berbagai tradisi agama untuk mendorong kesadaran dan tindakan kolektif demi penyelamatan bumi.
Eco teologi adalah cabang teologi yang menyoroti hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam. Konsep ini menekankan bahwa alam adalah bagian integral dari ciptaan ilahi dan, oleh karena itu, memiliki nilai intrinsik. Lynn White, dalam esainya yang terkenal "The Historical Roots of Our Ecological Crisis" (1967), menyebutkan bahwa pandangan antroposentris dalam agama telah berkontribusi pada eksploitasi alam. Sebaliknya, eco teologi mengusulkan pandangan holistik yang menghormati keberadaan seluruh ciptaan.
Dalam tradisi Kristen, kitab Kejadian 2:15 menekankan tanggung jawab manusia untuk "mengusahakan dan memelihara" taman Eden. Paus Fransiskus, dalam ensiklik Laudato Si' (2015), menyoroti pentingnya "ekologi integral" yang mencakup keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Dalam Islam, Al-Qur'an mengajarkan keseimbangan (mzn) dan larangan berlebihan (isrf). Surah Al-A'raf [7:31] menyerukan untuk "makan dan minum, tetapi jangan berlebihan." Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk hidup dalam harmoni dengan alam. Tradisi Hindu menghormati alam sebagai perwujudan dari dewa-dewa. Konsep prakriti (alam) dipandang sebagai ibu yang harus dihormati dan dilindungi. Ritual-ritual seperti puja sering melibatkan penghormatan kepada elemen alam seperti sungai, pohon, dan gunung. Prinsip ahimsa (non-kekerasan) dalam ajaran Buddha mendorong umat untuk menjaga lingkungan. Dalai Lama sering berbicara tentang pentingnya kesadaran ekologis sebagai bagian dari latihan spiritual.
Meski eco teologi menawarkan pandangan yang inspiratif, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah bagaimana menerjemahkan prinsip-prinsip teologis ini ke dalam tindakan nyata. Kritik lain adalah potensi konflik antara interpretasi teologi konservatif yang mungkin menolak perubahan perilaku yang diperlukan untuk pelestarian lingkungan. Namun, beberapa inisiatif telah menunjukkan keberhasilan pendekatan ini. Misalnya, program "Green Pilgrimage Network" yang melibatkan situs-situs suci di berbagai agama untuk mempromosikan pariwisata yang berkelanjutan. Di Indonesia, gerakan "Pesantren Hijau" memadukan nilai-nilai Islam dengan praktik keberlanjutan.
Praktik-praktik seperti doa dan meditasi mendorong umat untuk merenungkan hubungan mereka dengan alam. Doa untuk bumi dapat menjadi pengingat akan tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Ritual ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan-bahan biodegradable dalam upacara, menjadi langkah kecil namun signifikan. Edukasi berbasis keagamaan juga dapat mengintegrasikan pendidikan lingkungan dalam lembaga-lembaga keagamaan untuk meningkatkan kesadaran sejak dini. Komunitas agama juga dapat terlibat dalam kegiatan seperti penanaman pohon, pembersihan sungai, dan kampanye pengurangan sampah plastik.
Eco teologi adalah jembatan antara spiritualitas dan tanggung jawab ekologis. Dengan menggali ajaran agama dan menerapkannya dalam konteks modern, manusia dapat menemukan motivasi moral untuk menyelamatkan bumi. Seperti yang ditegaskan oleh Paus Fransiskus, "Mengasihi dunia yang diciptakan oleh Allah berarti hidup dalam harmoni dengan ciptaan dan satu sama lain." Melalui langkah ini, eco teologi tidak hanya menjadi jalan spiritual, tetapi juga solusi praktis untuk menjaga keberlanjutan bumi bagi generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H