Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Membaca dan menulis adalah dua sisi dari satu koin: membaca memperkaya wawasan, sementara menulis mengolah dan menyampaikan wawasan tersebut. Keduanya membangun dialog tak berujung antara pikiran dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Palembang Pilihan

Najwa Lailatul Mu'jizah: Kekuatan Mimpi Di Tengah Derita Lupus Menyerang Ginjal

18 Desember 2024   02:30 Diperbarui: 18 Desember 2024   04:09 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik senyum lembut yang selalu tersungging di wajahnya, ada kisah perjuangan yang tak pernah habis ditulis waktu. Najwa Lailatul Mu'jizah, seorang gadis berusia delapan belas tahun, menjalani hari-harinya dengan langkah kecil penuh keberanian, meski tubuhnya rapuh karena penyakit yang bersarang selama bertahun-tahun.

Enam tahun yang lalu, Najwa didiagnosis menderita lupus. Penyakit autoimun ini datang seperti badai, menyerang ginjalnya tanpa ampun. Tubuh yang dulu lincah mendadak sering lemas, wajah pucat, dan napas terasa berat. Namun, tak pernah sekali pun Najwa menyalahkan nasib. Dalam sakitnya, ia hanya bertanya pelan kepada Allah hajja wajalla, "Mengapa aku?" Tapi ia pun tahu, pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban. Yang ia butuhkan hanyalah keikhlasan menerima.

Beberapa waktu terakhir, keadaan Najwa semakin memburuk. HB-nya turun drastis hingga menyentuh angka 5,2. Tubuhnya melemah, dan setiap gerak kecil menjadi perjuangan besar. Selama tujuh hari ia dirawat di RSMH, rumah sakit yang sudah tak asing lagi baginya yang sejak SD kelas 6 sudah selalu dia kunjungi dan nikmati sekalipun itu di kamar ICU selama beberapa kali dan beberapa hari. Setiap malam, ia terbaring menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan kosong, mendengarkan suara mesin medis yang berulang-ulang. Di lengannya, jarum infus menusuk kulit tipisnya, sementara transfusi darah terus mengalir, berusaha memberi kekuatan bagi tubuh yang mulai menyerah. Lima kantong darah diberikan kepadanya, sebuah bukti cinta tanpa pamrih dari para mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi dan Fakultas Psikologi UIN Raden Fatah. Meski tak mengenalnya secara langsung, mereka datang sebagai pahlawan di balik tabir. Darah mereka menyatu dalam nadinya, seperti doa yang tak terdengar.

Di tengah kondisinya tidak seperti mahasiswa yang lain, Najwa tetap memeluk mimpinya dengan erat. Meski ia harus menjalani CAPD---sebuah metode cuci darah mandiri yang dilakukan empat kali sehari---ia tak pernah berhenti berjuang untuk masa depan pendidikannya. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, melakukan prosedur medis yang rumit dengan bantuan Uminya, Siti Nurul Atiqoh, yang tak pernah lelah menemani. Setelahnya, Najwa bersiap-siap untuk kuliah di Fakultas Psikologi. Dengan tubuh yang masih lemah dan hati yang penuh semangat, ia berangkat, seolah lupa bahwa di dalam dirinya ada sesuatu yang terus menggerogoti.

Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa, Najwa menulis puisi dan cerita pendek. Baginya, menulis adalah caranya bernapas. Melalui kata-kata, ia bisa menangis tanpa air mata dan menjerit tanpa suara. Setiap kalimat yang ia tuliskan menjadi tempat baginya untuk melepaskan semua beban yang tak pernah ia keluhkan. Buku-buku kecil berisi kumpulan puisinya sering ia bawa ke kampus. Teman-temannya kagum, bukan hanya karena bakatnya, tetapi juga karena kekuatan hatinya yang nyaris tak terbatas.

Najwa tahu bahwa hidupnya tak semudah milik orang lain. Ada hari-hari di mana tubuhnya begitu lemah hingga ia hanya bisa berbaring sambil menatap jendela. Ada saat di mana ia menahan tangis saat kesakitan menyerang, tetapi ia memilih diam agar keluarganya tak semakin cemas. Bagi Najwa, hidup bukan sekadar menunggu kesembuhan. Hidup adalah berjalan pelan, meski luka tetap ada di setiap langkah.

Di balik semua perjuangannya, ada satu hal yang selalu ia syukuri: keluarganya. Uminya yang tak pernah lelah mendukung, abinya yang selalu menyemangati, dan adek, abang, keponakan, om raden dan istri serta teman-temannya yang diam-diam menjadi tiang penopang di saat ia merasa akan jatuh. Di tengah-tengah mereka, Najwa menemukan kekuatan yang lebih besar dari rasa sakitnya.

Ketika seseorang bertanya kepadanya bagaimana ia bisa sekuat ini, Najwa hanya tersenyum. "Aku punya mimpi," jawabnya lirih. Bagi Najwa, mimpi adalah obat yang tak pernah habis. Mimpinya untuk lulus kuliah, mimpinya untuk menulis buku, dan mimpinya untuk membuktikan bahwa penyakit ini mungkin bisa merenggut tubuhnya, tetapi tidak dengan jiwanya.

Hari selasa tepatnya tanggal 17 Desember 2024, ketika ia pulang dari rumah sakit setelah tujuh hari dirawat, langit tampak cerah meski tubuhnya masih terasa lemah. Najwa kembali ke rutinitasnya---menjalani CAPD empat kali sehari, menyelesaikan tugas kuliah,dan ada beberapa UAS dari dosen yang harus dikerjakannya serta menulis puisi di sela-sela waktu. Dalam keheningan malam, Najwa membuka buku kecilnya dan mulai menulis:

"Aku mungkin tak sekuat pahlawan dalam dongeng,
Tapi aku tahu caraku berjuang,
Meski luka mengiringi langkahku,
Aku tak akan menyerah pada waktu."

Najwa Lailatul Mu'jizah bukan hanya sekadar nama. Ia adalah kisah tentang mimpi yang tak pernah padam, tentang kesabaran yang tak pernah goyah, dan tentang cinta yang menjadi penguat di tengah badai kehidupan. Meski lupus mencoba merampas banyak hal darinya, Najwa tetap berdiri tegak, melawan takdir dengan senyum kecilnya yang menyimpan berjuta makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Palembang Selengkapnya
Lihat Palembang Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun