Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang anak bernama Bima. Seperti kebanyakan anak seusianya, Bima sangat suka bermain gadget. Setiap hari, begitu pulang dari sekolah, ia langsung duduk di sofa, membuka tablet, dan tenggelam dalam dunia game dan video tanpa henti. Orang tuanya, Pak Roni dan Bu Santi, sering menegurnya, tapi Bima hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan.
"Bima, kamu harusnya belajar, Nak," kata Bu Santi suatu sore.
"Iya, Bu, sebentar lagi," jawab Bima sambil matanya tetap terpaku pada layar.
Hari demi hari berlalu, dan kebiasaan itu semakin melekat. Nilai Bima di sekolah mulai menurun, dan ia jarang berinteraksi dengan teman-temannya. Suatu hari, saat Bima tengah asyik bermain, ayahnya datang dengan raut wajah serius.
"Bima, kita bicara sebentar," kata Pak Roni sambil duduk di sampingnya.
"Ada apa, Yah?" Bima menjawab tanpa menoleh.
Ayahnya mengambil tablet dari tangannya, membuat Bima terkejut dan sedikit kesal. "Yah, jangan ambil tabletku! Aku baru saja mau menang!"
"Tunggu dulu. Ayah ingin tunjukkan sesuatu." Pak Roni mengeluarkan sebuah buku tua bergambar mobil-mobilan dari lemari. "Kamu ingat ini?"
Bima melihatnya sekilas. Buku itu berisi gambar-gambar mobil yang pernah ia gambar saat kecil. "Itu... buku gambarku dulu, kan?"
"Betul. Dulu, kamu sangat suka menggambar mobil-mobil. Kamu selalu bilang ingin jadi desainer mobil terkenal. Tapi sejak kamu tenggelam dalam gadget, ke mana impianmu yang itu?"
Bima terdiam. Ia ingat bagaimana ia dulu menghabiskan waktu berjam-jam membuat sketsa mobil impiannya. Matanya berbinar tiap kali menggambar detail velg, pintu, dan mesin. Tapi sejak ia mulai kecanduan bermain game, ia melupakan hobi yang dulu membuatnya begitu bersemangat.
"Bima," lanjut Pak Roni dengan lembut, "tidak salah bermain gadget, tapi jangan biarkan itu merampas impianmu. Gadget itu bisa jadi alat untuk belajar, atau alat untuk membuang waktu. Kamu yang memutuskan."
Bima menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Yah... Aku lupa tentang mobil-mobilan itu. Tapi aku masih suka kok..."
Ayahnya tersenyum. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Mulai besok, kamu boleh main gadget selama satu jam setelah menyelesaikan tugas sekolahmu. Tapi selebihnya, gunakan waktumu untuk mengasah bakatmu. Desainlah mobil impianmu lagi."
Hari berikutnya, Bima mencoba menepati janji itu. Awalnya sulit---tangannya terasa gatal ingin kembali menyentuh tablet. Tapi ia memaksakan diri untuk mengambil pensil dan kertas. Perlahan, ia mulai menggambar lagi. Satu mobil, dua mobil... dan lama-kelamaan, ia merasa asyik kembali. Ide-ide baru muncul di benaknya.
Dengan dukungan ayah dan ibunya, Bima mulai belajar menggunakan gadgetnya untuk menonton tutorial desain mobil, mempelajari software desain grafis, dan mencari inspirasi dari desainer-desainer mobil terkenal. Waktunya dengan gadget kini terasa lebih bermakna. Dia tidak lagi hanya bermain, tetapi juga menciptakan sesuatu.
Bertahun-tahun kemudian, Bima tumbuh menjadi remaja yang tidak lagi kecanduan gadget. Dia justru menggunakan teknologi untuk mengejar impiannya. Pada usia 17 tahun, ia memenangkan lomba desain mobil tingkat nasional, membuktikan bahwa semangat masa kecilnya tidak pernah padam---hanya tertidur sejenak.
**Pesan cerita ini:**
Gadget bukanlah musuh, tapi bisa menjadi penghalang jika tidak digunakan dengan bijak. Impian yang besar bisa terkubur jika kita hanya fokus pada kesenangan sesaat. Seperti Bima, ubahlah kebiasaanmu dan gunakan waktu dengan bijak. Ingatlah impian yang pernah membuatmu bersemangat, dan jangan biarkan layar kecil itu mengaburkan mimpimu yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H