Industri pertambangan di Sulawesi, khususnya tambang nikel dan emas, telah menjadi salah satu pilar ekonomi yang signifikan di kawasan ini. Namun, di balik keuntungan ekonomi yang dihasilkan, sektor ini juga membawa dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Terdapat berbagai potensi bahaya yang muncul dari aktivitas pertambangan yang perlu diantisipasi oleh masyarakat dan pemerintah setempat.
Pencemaran Air
Pertambangan sering kali menyebabkan pencemaran air, baik di sungai, danau, maupun sumber air bawah tanah. Salah satu yang paling umum adalah pencemaran oleh logam berat seperti merkuri dan arsenik. Di Sulawesi, beberapa tambang nikel dan emas diketahui menggunakan metode pengolahan yang berpotensi merusak lingkungan. Ketika zat berbahaya ini masuk ke aliran air, mereka dapat mengontaminasi sumber air bersih yang digunakan oleh penduduk lokal untuk minum, memasak, dan kegiatan sehari-hari.
Efek jangka panjang dari terpapar air yang tercemar logam berat ini meliputi gangguan saraf, penyakit kulit, kerusakan ginjal, dan bahkan kanker. Anak-anak dan ibu hamil menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan ini karena tubuh mereka lebih mudah terpengaruh oleh racun.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Sulawesi Tenggara pada 2020, ditemukan bahwa beberapa sungai di wilayah pertambangan nikel menunjukkan peningkatan kadar logam berat seperti merkuri (Hg) dan arsenik (As). Studi tahun 2021 oleh Universitas Halu Oleo juga menemukan bahwa kadar merkuri di Sungai Konaweha, yang berada dekat dengan wilayah pertambangan, melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sebesar 0,002 ppm.
- Kadar merkuri di Sungai Konaweha: 0,005 ppm
- Kadar arsenik di Sungai Lalindu: 0,003 ppm
- Batas aman: 0,002 ppm (Kementerian Lingkungan Hidup)
Polusi Udara
Selain pencemaran air, tambang juga menjadi sumber utama polusi udara. Proses penambangan, terutama yang melibatkan peledakan dan penghancuran batuan, melepaskan partikel debu ke atmosfer. Debu ini sering mengandung partikel beracun seperti silika yang, jika dihirup dalam jangka panjang, dapat menyebabkan penyakit pernapasan seperti bronkitis kronis dan silikosis.
Di beberapa daerah di Sulawesi yang dekat dengan tambang, kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) telah dilaporkan meningkat. Penduduk sekitar tambang sering kali mengeluhkan sesak napas, batuk kronis, dan iritasi mata, yang semuanya merupakan gejala umum dari paparan polusi udara yang tinggi.
Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah melaporkan bahwa kualitas udara di sekitar kawasan pertambangan nikel di Morowali menurun drastis, terutama disebabkan oleh emisi debu dari proses tambang. Hasil pemantauan kualitas udara pada 2022 menunjukkan bahwa partikel debu (PM10) di beberapa desa sekitar tambang mencapai 120 g/m, melebihi baku mutu udara ambien nasional (BAUAN) yang ditetapkan sebesar 90 g/m.
- PM10 di desa Bahodopi: 120 g/m
- Baku mutu nasional (BAUAN): 90 g/m
Dampak Psikososial
Aktivitas tambang tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga memiliki dampak psikososial terhadap masyarakat. Banyak penduduk lokal yang kehilangan mata pencaharian tradisional mereka, seperti bertani dan nelayan, karena lahan dan sumber daya alam telah diambil alih oleh perusahaan tambang. Ini sering kali menyebabkan stress, kecemasan, dan ketidakpastian akan masa depan, yang pada gilirannya berkontribusi pada peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan masyarakat lokal.
Sebuah studi oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Hasanuddin pada 2022 menunjukkan bahwa lebih dari 60% penduduk lokal di daerah tambang nikel Sulawesi Tengah mengalami penurunan pendapatan akibat rusaknya lahan pertanian. Selain itu, sekitar 35% responden melaporkan mengalami stres dan kecemasan akibat ketidakpastian ekonomi dan perubahan sosial di komunitas mereka.
- Penurunan pendapatan: 60% penduduk terdampak
- Meningkatnya stres dan kecemasan: 35% responden
Penyebaran Penyakit
Penggalian besar-besaran dan perubahan ekosistem akibat tambang juga bisa menciptakan kondisi yang kondusif bagi penyebaran penyakit. Misalnya, kolam-kolam bekas galian tambang yang tidak dikelola dengan baik bisa menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk, yang meningkatkan risiko penularan penyakit seperti malaria dan demam berdarah. Di beberapa wilayah Sulawesi, peningkatan kasus malaria telah dikaitkan dengan aktivitas pertambangan.