Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Takdir Terbaik: Sepasang Petani yang Bercocok Tanam di Tanah Titipan

9 Desember 2023   14:12 Diperbarui: 9 Desember 2023   14:14 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah kesibukan hidup yang menguras energi dan pikiran, akhirnya ada setetes waktu bagi saya untuk kembali menulis. Tulisan ini dibuat tatkala langit bergemuruh mengekpresikan eksistensinya, disertai dengan gemiricik hujan, yang awalnya dirindukan, namun kini dihujat oleh sebagian manusia.

Sebelum memulai, sebenarnya isi pikiran ini sudah sejak lama ingin dituangkan dalam tulisan. Namun, dalam beberapa saat, semesta sedang menguras raga dan jiwa untuk menjalankan tugas yang tidak bisa ditinggalkan.

Oke kita mulai...

Pada fitrahnya, Allah SWT, tuhan yang saya yakini mencipatkan makhluk berpasang-pasangan. Dalam setiap pasangannya, ada simbisosis mutualisme yang bisa saling menjaga dan memastikan eksistensinya. Sebagai contoh, tidak ada panas jika tidak ada dingin, pun tidak ada terang jika tidak ada gelap. Silahkan cari tanda kebesaran Allah SWT lainnya!

Kenyataan berpasangan ini tentu berlaku untuk makhluk yang dianggarkan menjadi paling mulia, yaitu manusia. Hal ini tidak dapat ditolak, disanggah, bahkan digugat. Saat manusia pertama Nabi Adam AS diturunkan ke Bumi, apa yang tugas  yang diberikan Allah SWT kepadanya? bekerja cari uang? Atau membangun bisnis? Tentu bukan!

Tugas Nabi Adam AS adalah mencari pasangan yang telah 'disiapkan' oleh Allah SWT. Setidaknya selama 200 tahun, beliau berkelana, mengembara, melewati dunia pada saat ini yang mungkin bentuk geografisnya tidak seperti sekarang ini. Hingga saatnya tiba, di sebuah bukit bebatuan yang tingginya kurang lebih 70 meter bernama 'Bukit Kasih Sayang' atau Jabal Rahmah, Nabi Adam AS bertemu dengan takdir terbaiknya, yaitu Siti Hawa.

Setelahnya apa yang dilakukan?

Dalam praduga benak pikiran yang dangkal didorong dengan hasrat saat ini, Nabi Adam AS dan Siti Hawa akan langsung memadu kasih, bercumbu hasrat yang sudah ditahan selama ratusan tahun. Secara teknis bagaimana mereka berdua memadu kasih, Nabi Adam AS sudah diberitahu lebih dulu oleh Allah SWT. Praduga ini tidak sepenuhnya salah, karena pada faktanya mereka dua langsung melakukan hal tersebut. Apa buktinya? Habil, Qabil, Iklima, dan Labuda!

Habil dan Qabil bukanlah suatu makhluk evolusi dari binatang yang seperti dijelaskan oleh teori Darwin. Meski diantara keduanya terdapat perseteruan yang memecah pandangan hidup manusia, namun mereka berdua adalah hasil dari perkembang biakan yang melalui proses yang telah Allah SWT takdirkan. 

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa mereka berkembang biak? 

Perlu dipahami, bahwa Allah SWT menciptakan dan menurunkan Nabi Adam SWT ke bumi bukan untuk main-main, bukan untuk menjelajah, menghabiskan waktu demi waktu hingga ajal datang. Adapun yang menjadi Sebagaimana yang Allah perintahkan dalam Al Quran yang mengatakan bahwa;

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (Al Baqoroh: 30)

Dalam penggalan ayat ini, sudah jelas bahwa Allah SWT memberikan eksistensi kepada  Nabi Adam AS untuk menjadi khalifah di Bumi. Secara bahasa, dalam arti sempit Khalifah berari pengganti. Sementara itu, beberapa ahli tafsir atau mufassir mencoba mencerna maksud dari kata khalifah ini. Mufassir mashyur Ibnu Jariir At Thabary menjelaskan bahwa khalifah adalah ''suatu generasi sebagian mereka menggantikan sebagian yang lain. Dan mereka itu adalah keturunan Adam yang menggantikan Adam bapak mereka''.

Sementara itu, mufassir lain, Al Maraghi menjelaskan makna khalifah lebih tajam. Beliau mengatakan bahwa khalifah adalah "sesuatu jenis lain dari makhluk sebelumnya namun dapat pula diartikan, sebagai pengganti (wakil) Allah SWT. Dengan misi untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap manusia"

Jika dielaborasi, maka eksistensi Nabi Adam AS adalah untuk menjadi wakil Allah SWT di bumi dengan maksud untuk menjalankan perintah-perintahNya kepada manusia. Siapa manusianya? Tentu adalah istrinya Siti Hawa dan keempat anak-anaknya. Setelahnya, lahir generasi selanjutnya yang terus-menerus, berkembang biak menembus jutaan tahun hingga saat ini dengan jumlah manusia yang secara data menurut data Worldometers, jumlah penduduk dunia telah menembus 8,05 miliar jiwa pada 28 Juli 2023. Ini artinya, Allah SWT mentakdirkan kita untuk berpasangan agar manusia tetap eksis.

Sedikit lebih pribadi, saat ini penulis sedang dihadapkan dengan ruang eksistensi. Diantara jumlah penduduk yang telah disebutkan tadi, penulis sudah dititipkan secara halal seorang pasangan berbeda jenis yang cantik nan jelita, berperingai dewasa, tangguh dan berani dalam menghadapi hidup. Bagi penulis, dia adalah titipan yang harus dirawat dan dikembangbiakan, agar hubungan suci ini memiliki nilai guna untuk dunia. Terhadap titipan ini, penulis selalu menyiratkan dan menyuratkan perminataan suci, sebagaimana doa Nabi Ibrahmi kepada Allah

"Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa." (Al Furqon: 74)

Bagi penulis, doa ini menyiratkan dan menyuratkan bahwa pasangan adalah bukan untuk pemuas nafsu biologis, tapi adalah sebagai penyenang hati. Selain itu, pengembangbiakan juga bukan hanya sekedar untuk memperpanjang eksistensi hidup, tapi sesuai dengan apa yang dijelaskan sebelumnya, yaitu untuk menjadi pemimpin di muka bumi, dengan dasar taqwa.

Bagaimana selanjutnya?

Laksana sepasang petani yang sedang bercocok tanam di ladang, setelah tanaman tersebut ditanam, maka sisanya tinggal merawat dengan sebaik-baiknya. Dengan sentuhan kasih sayang dan kesabaran yang utuh, maka tanaman ini akan bertumbuh kembang hingga menjadi pohon thoyyibah, yang memberikan keteduhan kepada dunia. Bukan menjadi tanaman khabisah, seperti benalu yang menganggu ladang, pohonnya buruk dan sama sekali tidak menghasilkan buah.

''Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya.'' (Al Fath: 29)

Pada akhirnya, dalam kisah kehidupan ini, kita adalah sepasang petani yang sedang bercocok tanam di tanah titipan, dengan spirit dan sentuhan takwa, menghasilkan pohon dan buah ketakwaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun