Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fajar SadBoy: Bukti Realitas Kolektif yang Gemar Akan Kebodohan

30 Desember 2022   14:54 Diperbarui: 30 Desember 2022   15:08 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi rahasia umum, jika masyarakat semakin hari semakin skeptis/ragu-ragu terhadap berita-berita yang dimunculkan media, khususnya media mainstream. 

Hal ini dikarenakan semakin hari, topik yang disediakan semakin absurd, menggoreng sensasi, sehingga tidak membangun pola pikir masyarakat menjadi cerdas dan berwawasan. Ditambah dengan banyaknya digital platform yang menjadi tempat orang-orang yang tidak kompeten bersabda seolah macan nabi anyar. Masalahnya, media adalah ruang publik yang secara sengaja atau tidak sengaja akan membentuk opini kolektif.

Terbaru, fenomena sang pujangga cinta, Fajar Sadboy. Secara subjektif, saya pribadi sudah sangat muak dengan sensasi yang terus menerus digoreng. Media terus menerus mengkapitalisasi Fajar SadBoy, dengan terus dihadirkan dalam setiap acara, meraup pundi-pundi dari tangisan kesedihan atas kisah romansanya. 

Fajar akan semakin menjadi SadBoy jika mengetahui bahwa upah yang didapatnya, masih kalah jauh dari pendapatan yang didapatkan oleh media tersebut. Kasihan fajar, tapi inilah dunia kapital yang semuanya dimanipulasi demi meraih satu tujuan, yaitu cuan.

Merujuk dari pemikiran Noam Chomsky, media telah terbukti sangat efisien untuk membentuk realitas dalam jiwa kolektif. Chomsky pun berpikir bahwa media tidak akan ragu untuk berstrategi dengan cara merendahkan, mendorong kebodohan, mempromosikan rasa bersalah, mempromosikan gangguan mental, atau membangun masalah buatan. Hasilnya, ini menjadi realitas kolektif bahwa faktanya menjadi bodoh, vulgar, bermasalah, dan tidak berpendidikan adalah sesuatu yang modis. 

Realitas kolektif ini sudah menjadi komoditas ekonomi yang menggiurkan karena ini adalah demand, yang harus segera disambut dengan supply.  Tanpa mempertimbangakan dampak moral, nilai, dan norma serta keyakinan, supply akan terus menerus diberikan sehingga sang kapital akan meraup pundi-pundi yang banyak.

Meski demikian, selalu ada dalil pembenaran yang meng-cover tindakan yang dilakukan. Dalil ekonomi selalu menjadi senjata utama, misalnya karena fenomena tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan serta membiayai para pekerja yang sedang mengabdi dan talent yang sedang menjadi komoditas. Hanya saja dalil pembenaran tentu bukan dalil yang benar. 

Merujuk dalil yang benar, menurut keyakinan saya, dalam surat Al Baqoroh ayat 11, yang berbunyi "Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Ini artinya, akan selalu ada pihak yang berupaya seolah membuat perbaikan, tapi pada nyatanya sedang memproduksi komiditas yang akan menghasilkan realitas kolektif yang terus berputar menghasilkan supply dan demand. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun