Mengutip dari sedikit cuplikan dari Film Dokumenter "Social Dilemma", mengatakan bahwa teknologi dan media sosial yang ada lebih menakutkan dari pada sosok monster seperti Frankenstein yang ingin menciptakan makhluk buatan dari potongan mayat. Tidak berlebihan memang, karena pernyataan itu datang dari tokoh-tokoh yang meng-develop perkembangan teknologi dan media sosial itu sendiri. Bak seorang peng-taubat, orang-orang ini, baik atas dasar moral maupun ketuhanan, mencoba menebus dosanya dengan menyesali, serta mencoba memperbaiki dengan mengurai nalar sistem dan nalar operasi perkembangan teknologi dan media sosial.Â
Kembali ke soal Frankenstein, perumpamaan  layak untuk diamini karena teknologi dan media sosial sedang menciptakan manusia baru dengan memanipulasi syaraf-syaraf pikiran, dibuat bergantung menjadi seolah tidak hidup tanpa menggunakannya. Manusia baru ini dialienasi/zombinisasi atas nama citra dan eksistensi dengan kerelaan mengorbankan fitrah hidup layaknya manusia yang normal. Masih abstrak memang, tapi saya coba sedikit urai dengan beberapa contoh kasus.
"Tak Dibelikan Handphone, Anak Tega Bunuh Ibu Kandung". Kutipan tersebut diberitakan oleh Kompas menjadi bukti ironi bahwa manusia akan menjadi monster yang menyeramkan, memerangi fitrah ketika hidup tanpa nafas teknologi. Melihat fenomena ini, mungkin saja kita berdalih bahwa itu hanyalah tindakan bodoh dari salah satu orang saja, dan semua tergantung siapa yang menggunakannya. Memang betul, tapi catatan besarnya adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh seorang remaja, yang pola pikirnya sangat dipangaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Ini artinya tindakan anak ini mewakili alam pikiran lingkungannya yang mungkin belum terekpresikan oleh tindakan negatif.
Kasus lainnya dikutip dari berita Hai Grid, "Kenalan di Dating Apps, Mahasiswi di Bandung Diperkosa oleh Teman Barunya". Pola baru untuk melepaskan hasrat birahi, singkat, padat, cepat, disertai dengan bualan indah buaya pemangsa. Pada akhirnya malapetaka yang hadir, merenggut masa depan, menghancurkan asa dan harapan. Sekali lagi, teknologi dan media sosial menghadirkan manusia baru yang rakus birahi layaknya seekor kambing yang tanpa pandang bulu, menghunuskan senjatanya setiap ada kesempatan. Teringat kutipan legendaris dari Bang Napi, "Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga ada kesempatan". Ya kutipan yang menasbihkan bahwa teknologi dan media sosial adalah ruang kesempatan yang dapat menimbulkan tindakan kejahatan. Waspadalah!.
Pada kasus yang lebih sederhana, teknologi dan media sosial kerap kali menjadi ruang untuk mempertontonkan yang sebetulnya tidak layak untuk dipertontonkan. Pornografi dan pornoaksi, mempertontokan kemolekan tubuh dengan dalih gaya hidup didasari prinsip Hak Asasi Manusia, tapi merangsang hasrat seksual para penikmatnya.Â
Pada dasarnya, prinsip Hak Asai Manusia adalah setiap manusia diberikan kebebasan dengan catatan tidak mengganggu orang lain. Akan tetapi pada kenyataannya, dalil Hak Asasi Manusia ini tidak relevan untuk mempertontokan keseksian tubuh karena menurut peneliti dari Georgia yang dikutip oleh Daily Mail, akan menganggu saraf dan otak yang melihat, menyebabkan kecanduan, serta akan berhubungan dengan penyimpangan seksual, dan ketidaksetiaan terhadap pasangan. Dalih lainnya biasanya adalah jika tidak berkenan maka jangan dilihat. Hanya saja, masalahnya media sosial adalah ruang publik yang jika dilihat pun secara algoritmis memungkinkan secara sengaja akan terlihat. Silahkan lihat urainnya di film "Social Dilemma".Â
Uraian kasus di atas menapaki jejak umat menusia untuk menjadi monster yang jahat, biadab, dan menolak fitrah. Memang keras dan belum adil, karena uraian ini tidak dianalisa secara ilmiah yang harus melalui syarat dan ketentuannya. Hanya saja ini adalah ekspresi dari kegelihan dari manusia yang sudah tergigit zombie, takut virusnya semakin menyebar sehingga menjadi zombie yang paripurna. Akan tetapi yang menjadi anti-virus ditengah kondisi ironi hari ini bagi seorang yang berislam adalah Al Quran.Â
Secara prinsip, kehidupan ini adalah ujian yang mendasar kepada Q.S Al-Insan ayat 2, mengatakan bahwa "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat". Ini adalah bukti ketetapan bahwa setiap manusia yang dilahirkan akan diuji kelayakan dan kepantasannya dengan soal-soal yang tertuang dalam perintah dan larangannya.Â
Secara teknis, setiap manusia akan diuji dengan ketakutan, terhadap eksistensi diri, teralienasi zaman, ancaman sosial, dan masih banyak yang lainnya. Silahkan baca Al-Quran. Dan yang jangan sampai lupa dan terlupakan adalah peran antagonis utama, Sang Iblis, yang tanpa Lelah dan menyerah akan terus mengajak manusia memerangi fitrahnya sendiri, meskipun pada akhirnya siapa yang akan menang sudah ditetapkan dan ditentukan.
Sekian dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H