Antusiasme Masyarakat dalam Perayaan 17 Agustusan
Tidak ada yang lebih mengesankan bagi Habib selain melihat antusiasme masyarakat dalam menyambut perayaan 17 Agustus. Bukan hanya tentang lomba-lomba dan karnaval, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dengan penuh semangat ikut serta dalam setiap kegiatan. Saya pikir, saya sudah tahu arti dari merdeka, tapi ternyata, di sini saya belajar lebih banyak, ujar Habib.
Di setiap sudut kampung, bendera merah putih berkibar, dan senyum terpancar di wajah semua orang. Anak-anak berlari riang, orang dewasa sibuk mempersiapkan makanan, dan semua orang terlibat dalam semangat kemerdekaan. Bahkan, Habib terkesan dengan bagaimana warga bisa menciptakan suasana meriah hanya dengan alat dan bahan seadanya. Di sini, saya belajar bahwa kebahagiaan tidak harus mahal. Asal bersama, segalanya terasa lebih ringan, katanya.
Habib merasa bahwa semangat 17 Agustus di Jurang Mangu Barat adalah contoh nyata dari kebersamaan yang tulus. Ini lebih dari sekadar perayaan namun juga keharmonisan hakiki. Ini adalah momen di mana kita semua merasa menjadi satu, meskipun berbeda-beda, kata Habib dengan penuh rasa syukur.
Namun, di tengah semangat kemerdekaan itu, Habib menemukan satu momen yang mungkin tidak terdaftar secara resmi dalam pikirannya: rebutan nasi tumpeng! Saat acara makan bersama dimulai, Habib yang awalnya berpikir akan tenang menikmati hidangan, malah berakhir seperti pejuang dalam medan perang. Bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan anak-anak berlomba-lomba mengisi piring mereka dengan lauk-pauk secepat mungkin. Habib hanya bisa memandang takjub. Ternyata, semangat kemerdekaan ini juga berlaku di meja makan, ujarnya sambil tertawa, setelah berhasil menyelamatkan satu potong ayam.
Lalu ada momen saat Habib diminta ikut lomba dengan salah satu bapak di kampung. Dengan percaya diri, Habib mengira akan mudah menang karena ia lebih muda dan terlihat lebih berotot. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bapak itu dengan tenang mengalahkan Habib hanya dalam hitungan detik! Ini bukan soal otot, Nak, ini soal pengalaman bertahun-tahun ngangkat galon air, ucap sang bapak sambil tertawa. Habib pun langsung berpikir, Kalau begitu, saya kalah telak sebelum mulai!
Dan, siapa sangka, salah satu kejutan terbesar datang saat ada lomba karaoke dadakan. Habib, yang biasanya tenang dan santai, tiba-tiba ditantang oleh ibu-ibu kampung untuk menyanyikan lagu dangdut. Meski awalnya ragu, Habib pun akhirnya naik panggung. Diiringi tawa dan sorak-sorai, ia menyanyikan lagu Terajana dengan gaya yang mungkin akan diingat selamanya oleh warga kampung itu. Nyanyi dangdut ternyata lebih menantang daripada ujian teori hukum ekonomi! ujarnya setelah selesai, dengan napas yang masih ngos-ngosan.
Gagal Cinlok di KKN: Sebuah Pengakuan Jujur
Namun, di balik semua kebahagiaan dan kesuksesan KKN, ada satu hal yang membuat Habib tertawa getir gagal cinlok. Ya, meskipun banyak cerita romantis yang beredar di kalangan mahasiswa tentang KKN menjadi ajang cinlok (cinta lokasi), Habib ternyata tidak seberuntung itu. Meski sempat ada beberapa momen yang membuat hatinya bergetar, semuanya berakhir sebagai cerita manis tanpa kelanjutan.
Saya gagal cinlok di KKN, begitu pengakuan Habib dengan nada bercanda. Tapi tak apa, setidaknya saya sukses bikin orang-orang ketawa waktu jatuh di lomba tarik tambang, tambahnya sambil tertawa lebar. Meskipun gagal dalam urusan percintaan, Habib merasa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih berharga kebersamaan dan pengalaman yang tak ternilai.