Nongkrong, Share and Nostalgia Nawa bersama Anak Jalanan di DIY
By: Nawa…@
Nongkrong merupakan salah satu kegiatan yang paling banyak degemari oleh para pemuda, bahkan dari sebagian orang tuapun masih ada yang senang dengan kegiatan tersebut. Namun, istilah nongkrong pada zaman dulu, telah dipersepsikan hanya untuk orang2 nakal/preman (bebas) saja yang melakoninya.
Jika ditilik dengan masa kini dan dilihat dari sisi positifnya, ternyata nongkrong telah menjadi trend untuk semua golongan, dan selain untuk menghilangkan rasa strees, nongkrong telah dimanfaatkan untuk menyelesaikan jenis pekerjaan, seperti meeting atau agenda kerja, dan bertemu dengan klien. Demikian juga, nongkrong bisa dimanfaatkan untuk istirahat karena jalanan yang sangat macet (khususnya Jakarta nih). Selain itu, nongkrong bisa juga untuk mengadakan kumpul bersama teman untuk menambah jaringan dan menambah wawasan.
Next:
Lebih lanjut, ketika saya diajak oleh sekumpulan aktifis mahasiswa (BEM) dari berbagai perguruan tinggi di DIY, diantaranya UGM, ISI, UII dan UIN mengajak saya untuk bisa mengikuti acara kumpul “nongkrong dan sosialisasi bersama anak jalanan” (padahal saya bukan seorang aktivis campus dan tidak memiliki keahlian apa2 selain makan, tidur dan ngelucon bersama kawan2 sahabat). Akhirnya saya tertarik untuk mengikuti acara tersebut, selain untuk “tambah ngangguran” dalam istilah jawa cirebonya, saya juga akan mendapatkan pengalaman dan pelajaran baru dalam kehidupan ini.
Dalam tujuan dan misi’nya, saya dan sekumpulan aktfis mahasiswa; untuk bisa bersosialisasi dan memberikan motivasi untuk mereka (anak jalanan) agar bersemangat dalam menapak kehidupan yang lebih baik.
Dalam benak pikiran saya ingin mengetahui alasan mereka, mengapa mereka tidak bersekolah? Malah memilih hidup di tepi jalanan hanya untuk mecari sepeser uang receh, sedangkan sekolah negeri dari tingkat sd sampai smp, pemerintah sudah menggratiskanya. Dan saya ingin tahu, apakah mereka memiliki kesadarn untuk berfikir atau tidak!
Ternyata dalam dunia kehidupan anak jalanan pun ada anak perantau juga, salah satu golongan anak jalanan yang merantau tersebut bernama Aldi (25), berasal dari kampung Betawi Ciracas Jakarta Timur.
Ketika itu, saya pernah mewawancarai lewat ngobrol dengan gaya karakter mereka dan mereka mempunyai alasan yang kuat untuk memilih kegiatan sebagai anak jalanan. Menurut aldi anak jalanan yang berasal dari keturunan betawi itu, ia mengatakan “buat apa kalau saya bersekolah hanya untuk mencari kedudukan dan kesuksesan untuk menjadi pejabat dan pengusaha konglongmerat, yang intinya untuk meraih kekayaan untuk kepetingan sendiri!” Ungkap aldi. Luar biasa, ternyata menilai seseorang itu bukan dari latar belakang dan kedudukanya saja. Ternyata anak jalanan pun memiliki gagasan yang cukup kritis!. Dan setiap orang memiliki potensi (kelebihan) masing-masing.
Satu hal yang lebih spesifik jawaban dari anang dengan bahasa indonesia campuran khas jawa’nya “wong pejabat DPR yang sekolah sampe duwur ae akeh kang ora bener e mas, ujung2 e duit korupsi”. Luar biasa…ini merupakan kritik terhadap para pemimpin kita, bahwa di negeri kita telah mengalami krisis keteladanan.
Akhirnya saya mengasih usulan kepada para aktivis sekumpulan mahasiswa untuk mengadakan agenda sosialisasi bersama anak jalanan dalam setiap minggunya yang bertempat di rumah singgah di Banguntapan Bantul Yogyakarta, dengan tujuan memberdayakan anak jalanan dengan tema “Edukasi, Motivasi, dan Solusi penanggulanganya”. Selain itu, ide usulan dari saya, para sekumpulan aktifis mahasiswa untuk segera mengajukan proposal ke berbagai instansi pemerintahan untuk memberi bantuan dana kepada rumah singgah pendidikan anak jalanan. Dalam hal ini, mahasiswa akan ikut membina atau memberi program edukasi untuk anak jalanan.
Itulah salah satu jenis pengalaman saya ketika masih menjadi mahasiswa S1. Sekian…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H