Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi program unggulan dan langkah yang diambil untuk mengurangi stunting dan memperbaiki kualitas gizi siswa sekolah merupakan kebijakan ambisius yang membawa banyak harapan, kebijakan ini diproyeksikan mencakup jutaan anak dan ibu hamil Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Dengan anggaran sebesar Rp.71 triliun, program ini terlihat ambisius di atas kertas, tetapi sejauh mana kita mampu menjamin efektivitas dan keberlanjutannya? Apakah pemerintah benar-benar telah memperhitungkan keterbatasan fiskal negara dan kompleksitas pelaksanaan di lapangan, ataukah ini hanya sekadar kebijakan populis yang akan tergerus oleh kenyataan ekonomi?
Dalam sebuah negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang masih rendah dan rasio pajak yang tertinggal dibanding negara lain, kebijakan seperti MBG harus dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apakah kita mampu menjalankan program ini secara berkelanjutan tanpa membebani anggaran negara secara ceroboh? Apakah kebijakan ini dirancang untuk menjawab akar masalah gizi buruk atau hanya berfokus pada solusi jangka pendek yang tidak menyentuh sumber permasalahan?
Alih-alih menjadi langkah strategis yang menyeluruh, program ini tampak seperti sebuah janji politik yang terburu-buru. Dengan biaya per porsi yang terus ditekan menjadi Rp10.000, bagaimana kita bisa memastikan makanan yang diberikan benar-benar bergizi? Lebih dari itu, apakah kita sedang melangkah menuju jebakan kebijakan yang penuh dengan pemborosan dan inefisiensi?
Anggaran Besar, Bagaimana Realisasinya?
Berdasarkan RAPBN 2025, pemerintah menetapkan biaya sebesar Rp10.000 per porsi untuk makanan bergizi dalam program ini, turun dari rencana awal Rp15.000 per porsi. Keputusan ini jelas menunjukkan adanya keterbatasan anggaran, seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, bahwa APBN memiliki kapasitas terbatas untuk mendukung program ini secara penuh.
Penurunan anggaran per porsi ini menimbulkan dilema serius. Dengan biaya logistik yang tinggi, terutama di daerah terpencil, sulit membayangkan bagaimana Rp10.000 dapat memenuhi kebutuhan gizi standar yang layak. Harga bahan pokok di Indonesia, menurut BPS, terus mengalami fluktuasi, dengan kenaikan harga signifikan pada komoditas seperti telur, daging ayam, dan sayuran. Kondisi ini membuat biaya bahan makanan untuk satu kali makan sehat kian sulit dipenuhi dengan anggaran yang ada.
Jika dibandingkan dengan negara lain, program makan siang gratis di Jepang melalui Kyushoku menawarkan makanan bergizi dengan pengawasan ketat. Biaya yang dikeluarkan rata-rata 300-500 per porsi (sekitar Rp35.000-Rp50.000). Namun, perlu dicatat bahwa pemerintah Jepang hanya membiayai sekitar 50% dari total biaya makan siang tersebut, dengan sisanya ditanggung oleh sekolah dan orang tua murid. Model pendanaan berbagi ini memungkinkan pemerintah Jepang untuk menjaga kualitas tanpa harus sepenuhnya membebani anggaran negara. Pertanyaannya, apakah Indonesia, dengan kapasitas pendaaan yang lebih terbatas, dapatkah Indonesia melaksanakan program ini tanpa menurunkan kualitas yang diinginkan demi mengatasi angka kurang gizi dan stunting?
Mengatasi Stunting, Edukasi harus menjadi Prioritas
Stunting di Indonesia tetap menjadi masalah besar dengan prevalensi 21,6% pada 2022. Namun, apakah masalah ini dapat diselesaikan hanya dengan menyediakan makanan gratis? Data UNICEF menunjukkan bahwa stunting seringkali disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk kurangnya pengetahuan tentang pola makan sehat, sanitasi buruk, dan praktik pemberian makanan yang tidak tepat.
Program MBG tampaknya mengabaikan elemen-elemen ini. Alih-alih berfokus pada penyediaan makanan langsung, pemerintah seharusnya mempertimbangkan edukasi gizi sebagai bagian dari strategi pencegahan. Diperlukan kurikulum nutrisi yang dirancang untuk mengajarkan anak-anak dan orang tua pentingnya pola makan seimbang. Mutia A. Sayekti, MHEcon, peneliti dari Indonesian Health Economist (InaHea), menyatakan bahwa rendahnya literasi kesehatan merupakan akar dari berbagai masalah malnutrisi di Indonesia. Selaras dengan klaim tersebut, Profesor Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Gizi dan Ekologi Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan bahwa pemenuhan gizi seimbang di Indonesia masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi yang kurang bervariasi dan rendahnya tingkat literasi gizi di masyarakat. Kondisi ini berdampak pada tingginya angka kekurangan gizi di satu sisi, namun juga diikuti dengan meningkatnya jumlah penderita obesitas. Rendahnya literasi gizi menyebabkan masyarakat sering kali mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang seimbang. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya menangani masalah gizi saat ini, tetapi juga mencegah terulangnya masalah tersebut di masa depan melalui edukasi dan penyuluhan gizi yang lebih intensif.
Efisiensi Anggaran, Efektifitasnya?
Distribusi anggaran program MBG juga menghadirkan tantangan tersendiri. Berdasarkan laporan Tempo, sebagian besar dana digunakan untuk biaya distribusi dan administrasi, yang dapat mencapai 30% dari total anggaran. Hal ini menyisakan anggaran yang lebih kecil untuk penyediaan makanan itu sendiri.
Kompleksitas ini semakin terasa di daerah terpencil, di mana biaya transportasi bahan makanan bisa melampaui anggaran per porsi. Tanpa keterlibatan komunitas lokal seperti petani dan produsen pangan, program ini akan terus menghadapi kesenjangan besar antara tujuan dan pelaksanaan. Di Jepang dan Swedia, program makan siang sekolah melibatkan petani lokal untuk menyediakan bahan makanan segar dengan biaya lebih rendah, sekaligus mendukung perekonomian lokal. Pendekatan serupa dapat diadopsi di Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada rantai distribusi panjang yang rentan terhadap pemborosan.
Memandangnya dalam Perspektif Ekonomi dan Keberlanjutan Program
Dalam membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Swedia, perlu ditekankan perbedaan mendasar dalam kapasitas fiskal dan kekuatan ekonomi. Jepang, dengan PDB per kapita sekitar $39.000 pada 2023, memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk mendukung program makan siang sekolah. Demikian pula, Swedia, yang merupakan salah satu negara dengan tingkat pajak tertinggi di dunia, mampu mengalokasikan sebagian besar penerimaannya untuk layanan sosial yang berkelanjutan.
Sebaliknya, Indonesia, dengan PDB per kapita hanya sekitar $4.700, masih berjuang meningkatkan pendapatan negara melalui reformasi perpajakan. Rasio pajak Indonesia yang rendah---sekitar 11,5% dari PDB---menunjukkan keterbatasan sumber daya untuk mendanai program ambisius seperti MBG tanpa mengorbankan prioritas pembangunan lainnya. Pertanyaan kritis yang harus dijawab adalah apakah program ini dapat berlangsung dalam jangka panjang tanpa membebani APBN secara berlebihan, terutama mengingat risiko meningkatnya defisit anggaran akibat belanja sosial yang tidak efisien.
Membuka Mata terhadap Tantangan Nyata dalam Program Makan Bergizi Gratis
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah memang memiliki tujuan mulia untuk mengurangi stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak di Indonesia. Namun, kenyataannya, kebijakan ini menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan anggaran terbatas dan implementasi yang penuh ketidakpastian. Menurunkan biaya per porsi demi mencapai cakupan yang lebih luas memang bisa menjawab tantangan anggaran, tetapi hal ini juga berisiko menurunkan kualitas makanan yang diterima oleh anak-anak. Dalam konteks ini, kita harus mempertanyakan apakah mengejar skala besar tanpa memperhatikan kualitas dan ketepatan sasaran benar-benar akan membawa manfaat yang berkelanjutan?.
Pemerintah perlu mulai memikirkan bagaimana cara mendesain kebijakan yang tidak hanya terfokus pada jumlah, tetapi juga pada kualitas dan keberlanjutan jangka panjang. Mengurangi biaya per orang agar program ini dapat diterapkan secara merata di seluruh Indonesia memang terdengar fair dan adil, tetapi itu tidak cukup. Struktur pembiayaan yang lebih baik dan efisien menjadi hal yang krusial. Pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang dialokasikan dapat benar-benar tepat sasaran, memfokuskan pada keluarga-keluarga yang paling terdampak, seperti mereka yang berada di bawah garis kemiskinan dan daerah terpencil. Keterbatasan anggaran bukan alasan untuk mengabaikan kualitas; justru ini adalah saat yang tepat untuk melakukan subsidi yang lebih terarah, yang memastikan bahwa semua anak Indonesia, tanpa memandang latar belakang ekonomi, dapat menerima manfaat yang sebanding.
Menerapkan subsidi yang terfokus pada kelompok sasaran yang benar-benar membutuhkan akan menjadi langkah penting untuk menjamin keadilan sosial. Subsidi bisa diarahkan pada keluarga kurang mampu, sehingga mereka tidak harus menanggung beban ekonomi untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan gizi yang layak. Ini adalah solusi yang dapat memastikan program MBG tidak hanya menjadi sebuah kebijakan yang merata, tetapi juga adil.Â
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan sektor swasta, petani lokal, serta lembaga non-pemerintah untuk menciptakan ekosistem yang saling mendukung. Keterlibatan pihak-pihak ini bisa membantu menurunkan biaya distribusi, memperbaiki kualitas makanan, dan menciptakan model keberlanjutan jangka panjang. Belajar dari negara-negara lain, seperti Brasil yang melibatkan CSR dalam program makan siang sekolah, bisa menjadi inspirasi untuk meminimalkan beban fiskal pemerintah, sementara tetap mencapai tujuan yang diinginkan.
Pada akhirnya, kebijakan MBG harus berani memperhitungkan realitas fiskal dan ekonomi Indonesia. Program ini tidak boleh menjadi sebuah beban anggaran yang membengkak tanpa hasil yang jelas. Dibutuhkan desain kebijakan yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus pada pemberian makanan gratis, tetapi juga pada pemberdayaan ekonomi lokal, edukasi gizi secara masif, serta penyediaan akses ke layanan kesehatan dan sanitasi. Tanpa keberlanjutan dan integrasi yang baik, MBG bisa berisiko menjadi kebijakan yang tak berdampak dan sekedar gimmick politik tanpa memperhatikan tujuan utama yang menjadi PR besar bagi pemerintah dalam usaha menggapai cita cita Indonesia Emas 2045. Pemerintah harus bisa mendesain kebijakan yang mengutamakan kualitas dan keberlanjutan, bukan hanya skala besar yang belum tentu dapat diterima bahkan efektivitasnya masih banyak diragukan oleh sebagian masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H