Tidak ada yang menduga akan menjadi seperti ini. Pada mulanya, itu adalah lapangan sepak bola yang tidak terawat. Rumputnya setinggi lutut orang dewasa, membuat bola (apalagi para pemain) kesulitan bergerak. Lapangan ini lebih mirip padang rumput penggembalaan daripada arena olahraga. Tanpa dinding atau sekadar jaring yang membatasinya, bola sering kali melenceng ke sawah di sebelah selatan atau, lebih buruk lagi, ke jalan raya di sebelah utara.
Terkadang lebih capek mengambil bola dibandingkan bermain bola itu sendiri.
Kendati begitu, pada tahun 2018, lapangan tersebut berubah menjadi semacam alun-alun bagi kampung kami. Permukaannya ditutupi oleh rumput taman. Setiap sisi dipagari oleh berbagai jenis tanaman hias. Tempat duduk mengitarinya, yang memungkinkan orang berjemur sinar matahari saat pagi.
Sebuah panggung beton dibangun di sebelah timur, sementara di pinggirnya terdapat kolam kecil yang cukup untuk tujuh anak bermain air, belasan anak jika hanya berendam. Yang paling mengagumkan, ada "sub-lapangan" di sebelah barat untuk permainan mini-soccer.
Setiap hari, khususnya kala sore ketika jam kerja berakhir dan cahaya matahari sangat kondusif untuk aktivitas outdoor, alun-alun ini senantiasa semarak. Warga, baik dari dalam ataupun luar desa kami, berduyun-duyun datang untuk tujuan yang beragam. Beberapa hanya mencari tempat yang tenang untuk mengobrol dan bersantai setelah hari yang melelahkan, biasanya sambil menikmati kopi dan umbi-umbian yang dijual oleh pedagang kaki lima di sepanjang pintu masuk.
Ada yang berkunjung untuk berolahraga, entah jogging sore atau bermain bulutangkis (jika angin sedang bersahabat, tentu saja). Ada pula yang, seperti ibu saya, hanya jajan dan pulang lagi. Pada hari Minggu, lapangan berubah menjadi festival jajanan dengan aneka kegiatan lainnya, seperti konser musik dan (terkadang hanya) acara senam. Saya merasa indeks kebahagiaan kampung kami meningkat.
Namun, kurang dari setahun, perubahan terjadi lagi dan bukan ke arah yang kami inginkan.
Pagar besi mulai dibangun mengelilingi perimeter. Seluruh permukaan, kecuali lintasan lari, mulai diratakan dengan semen. Pintu masuk, yang awalnya berupa gapura terbuka 24/7, diganti menjadi gerbang besi besar yang bahkan tidak memungkinkan orang untuk memanjatnya. Tepat di sebelahnya terdapat sebuah bangunan kecil persegi panjang yang kami kira sebagai pos satpam.
Perlu waktu lama bagi kami untuk akhirnya mengerti bahwa lapangan tersebut telah diprivatisasi dan dikomersialisasi. Pagar dan gerbang besi mengisyaratkan bahwa sekarang hanya orang-orang yang membayar saja yang diperbolehkan masuk. Bangunan kecil persegi panjang itu ternyata loket karcis. Lapangan kami memang menjadi lebih mewah dibandingkan sebelumnya, tetapi, seperti yang diutarakan oleh salah satu sesepuh kami, warga kampung telah dikecualikan.
Kami telah kehilangan satu-satunya "ruang keluarga" kami, dunia kolektif kami.
Artikel ini merupakan ekspresi keprihatinan yang mendalam atas semakin terkikisnya ketersediaan ruang publik terbuka dalam masyarakat kami dan kita semua, serta harapan kepada Badan Bank Tanah agar memprioritaskan penyediaan dan pemanfaatan lahan untuk pembangunannya. Saya percaya bahwa akses terhadapnya bukan sekadar fasilitas rekreasi, melainkan kebutuhan mendasar bagi kesejahteraan sosial, emosional, dan fisik masyarakat.
Ruang publik terbuka dan kesepian
Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah ruang publik terbuka di banyak daerah di Indonesia terus menurun. Berdasarkan data BPS tahun 2019, ketersediaan ruang publik terbuka di beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat mengalami penurunan dari tahun 2014 sampai 2018.
Ironinya adalah bahwa kondisi ini terjadi ketika kita memiliki mandat hukum, yaitu Pasal 29 (1) UU No. 26 Tahun 2007, yang mengharuskan setiap kota mengalokasikan sedikitnya 30% dari luas wilayah kota untuk ruang hijau terbuka. Dari proporsi ini, minimal 20% di antaranya harus bersifat publik dan bukan privat.
Realisasinya jauh panggang dari api. Saat ini, sebagian besar kota di Indonesia belum bisa (jika bukan tidak mau) merealisasikan aturan tersebut. Kota Bandung, misalnya, yang belakangan sering dipuji atas taman-taman kotanya, hanya memiliki luas ruang hijau terbuka sebesar 12,8%, bahkan sekitar enam persen di antaranya merupakan ruang hijau privat. Di Jakarta, luas ruang hijau terbuka hanya sebesar 5,2%.
Sebaliknya, ruang "publik" yang dikomersilkan (seperti mal, kafe, dan taman hiburan) tumbuh dengan cepat. Sisanya adalah fakta bahwa kita harus membayar untuk mengakses sumber-sumber kekayaan sosial, sering kali tidak sepadan dengan manfaat yang didapatkan. Apakah membayar seratus ribu rupiah untuk menonton di bioskop atau berbelanja di mal merupakan dasar yang menyehatkan sendi-sendi sosial kita?
Mengapa fenomena ini terjadi?
Alasan utamanya adalah karena kita hidup di era neoliberal yang mengukur keberhargaan segala sesuatu dari profit yang dihasilkannya. Dengan begitu, apa pun yang dianggap tidak "produktif" dan tidak menghasilkan uang untuk para investor akan disingkirkan. Ruang publik (terbuka), tempat di mana orang dari berbagai latar belakang dapat mengaksesnya secara bebas tanpa harus membayar, merupakan salah satu barang yang dinilai tidak profitable.
Dampak dari penutupan atau, paling banter, komersialisasi ruang publik tidak hanya bersifat material, tetapi juga berimplikasi pada kesehatan mental dan kesejahteraan anggota masyarakat setempat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kekurangan (apalagi ketiadaan) ruang publik dapat memicu penurunan kepercayaan dan kohesi sosial, dan tidak kalah pentingnya, peningkatan isolasi sosial dan kesepian.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology, Health & Medicine pada tahun 2015 menemukan bahwa penduduk yang tinggal di daerah yang kekurangan infrastruktur umum dan ruang publik lebih kesepian dan terisolasi secara sosial dibandingkan mereka yang tinggal di daerah berkecukupan. Selain itu, sebuah tinjauan sistematis terbaru juga menyimpulkan bahwa ruang hijau yang memiliki kualitas dan aksesibilitas tinggi dapat menjadi antidot kesepian.
Hal itu karena ruang publik terbuka berfungsi bukan hanya sebagai hiasan yang mempercantik lingkungan, tetapi terutama sebagai tempat yang memungkinkan kontak rutin dengan orang lain, khususnya tetangga dan warga sekitar. Kontak ini sangat penting bagi kelompok tertentu seperti lansia dan kaum remaja. Tanpa adanya tempat untuk dikunjungi dan sesuatu untuk dilakukan bersama, mereka tidak lagi memiliki alasan untuk keluar rumah dan, di atas segalanya, kehilangan rasa memiliki dan support system.
Bahkan ketika ruang publik yang dikomersilkan mampu memberikan rasa memiliki, inklusivitas di dalamnya masih dipertanyakan. Di tempat-tempat seperti itu, kita diperlakukan bukan sebagai warga negara yang memiliki hak atas kesejahteraan sosial dan emosional, melainkan konsumen yang memiliki uang untuk dibelanjakan. Kalaupun biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil, hal itu masih bisa terasa seperti pajak hanya untuk mengobrol dengan teman.
Mengingat bahwa mereka yang kesepian sudah secara tidak proporsional berada dalam kondisi yang lebih buruk secara finansial, komersialisasi sangat mengganggu. Seperti yang diutarakan oleh salah satu partisipan dalam penelitian skripsi saya mengenai hubungan antara neoliberalisme dan "epidemi kesepian" hari ini, "Sepi rasanya ketika melihat semua orang hang out sambil berbelanja di mal atau ngopi di kafe, sementara aku bahkan tidak mampu untuk membeli makan malam."
Harapan untuk Badan Bank Tanah
Sejak dibentuk pada tahun 2021, Badan Bank Tanah telah menunjukkan best practices dalam setiap tujuan pokok yang ditetapkan: kepentingan umum, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, reforma agraria, konsolidasi lahan, dan kepentingan sosial. Dalam hal kepentingan umum, Badan Bank Tanah telah bekerja sama dengan Kementerian PUPR dan beberapa pihak swasta untuk menyediakan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Guna kepentingan pembangunan nasional, Badan Bank Tanah telah mengalokasikan lahan seluas 347 Ha untuk pembangunan Bandara VVIP dan 150 Ha untuk Jalan Tol Seksi 5B di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Di Kabupaten Tabanan, Bali, Badan Bank Tanah telah berkontribusi pada pengembangan wisata dan karenanya pemerataan ekonomi melalui penyediaan tanah.
Di bidang reforma agraria, Badan Bank Tanah telah mengalokasikan lahan seluas 1.873 Ha di Penajam Paser Utara, 1.550 Ha di Poso, dan 203 Ha di Cianjur. Khusus di Poso, sebagian dari luas lahan tersebut diproyeksikan akan menjadi peternakan modern untuk sapi perah dan sapi potong.
Dari semua praktik terbaik tersebut, saya berharap lebih terhadap kepentingan sosial. Meskipun proyek-proyek sebelumnya memiliki manfaat sosial yang signifikan, "kepentingan sosial" dalam arti sebenarnya masih menjadi tujuan sekunder yang mendampingi motif ekonomi. Dengan kata lain, kepentingan sosial hadir secara implisit dan belum menjadi pendorong utama.
Pembangunan bandara dan jalan tol, misalnya, dapat dianggap melayani kepentingan sosial karena proyek tersebut menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan aksesibilitas antar wilayah. Namun, keduanya tidak mewakili kepentingan sosial dalam bentuknya yang paling murni, yaitu berfokus pada pemenuhan kebutuhan sosial-emosional secara langsung, membina kohesi sosial, dan memberdayakan masyarakat setempat.
Pembangunan ruang publik terbuka, di antaranya, dapat memenuhi tujuan semacam itu. Seperti katalis kimia, ruang publik terbuka merupakan tempat semua "atom" sebuah metropolis berkumpul, saling bereaksi, dan menghasilkan energi.
Studi yang dilakukan oleh Daniel Cox dan Ryan Streeter dari American Enterprise Institute menemukan bahwa orang yang tinggal di lingkungan dengan ketersediaan ruang publik terbuka yang memadai lebih mungkin untuk berinteraksi setiap hari dengan orang lain, lebih bersedia membantu tetangga, lebih percaya kepada pemerintah daerah, dan lebih kecil kemungkinannya merasa terisolasi dari orang lain dibandingkan penduduk di daerah lainnya dengan sedikit ruang publik terbuka.
Demikianlah, saya amat berharap bahwa Badan Bank Tanah akan memprioritaskan penyediaan dan pemanfaatan lahan untuk membangun ruang publik terbuka pada proyek-proyek berikutnya.
Di tengah hiruk-pikuk dunia hari ini, signifikansi tempat-tempat seperti itu tidak dapat dilebih-lebihkan. Sebagaimana disimpulkan oleh studi Achmad Delianur dan Wahyuni Zahrah mengenai persepsi masyarakat terhadap ruang publik terbuka di Medan, "Masyarakat mempersepsikan ruang publik terbuka dengan baik dan terus menggunakannya secara intensif... tidak peduli seberapa buruk kualitasnya."
Tanpa "ruang keluarga" yang menyatukan kita, tidak dapat dipungkiri bahwa kita akan semakin tersekat dan kesepian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H