Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Badan Bank Tanah dan Hak untuk Tidak Kesepian

23 Januari 2025   12:45 Diperbarui: 23 Januari 2025   12:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaksanaan senam bersama di Lapangan Alun-Alun Garut | Foto oleh Anggana Mulia dari Diskominfo Garut

Artikel ini merupakan ekspresi keprihatinan yang mendalam atas semakin terkikisnya ketersediaan ruang publik terbuka dalam masyarakat kami dan kita semua, serta harapan kepada Badan Bank Tanah agar memprioritaskan penyediaan dan pemanfaatan lahan untuk pembangunannya. Saya percaya bahwa akses terhadapnya bukan sekadar fasilitas rekreasi, melainkan kebutuhan mendasar bagi kesejahteraan sosial, emosional, dan fisik masyarakat.

Ruang publik terbuka dan kesepian

Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah ruang publik terbuka di banyak daerah di Indonesia terus menurun. Berdasarkan data BPS tahun 2019, ketersediaan ruang publik terbuka di beberapa provinsi seperti Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat mengalami penurunan dari tahun 2014 sampai 2018.

Ironinya adalah bahwa kondisi ini terjadi ketika kita memiliki mandat hukum, yaitu Pasal 29 (1) UU No. 26 Tahun 2007, yang mengharuskan setiap kota mengalokasikan sedikitnya 30% dari luas wilayah kota untuk ruang hijau terbuka. Dari proporsi ini, minimal 20% di antaranya harus bersifat publik dan bukan privat.

Realisasinya jauh panggang dari api. Saat ini, sebagian besar kota di Indonesia belum bisa (jika bukan tidak mau) merealisasikan aturan tersebut. Kota Bandung, misalnya, yang belakangan sering dipuji atas taman-taman kotanya, hanya memiliki luas ruang hijau terbuka sebesar 12,8%, bahkan sekitar enam persen di antaranya merupakan ruang hijau privat. Di Jakarta, luas ruang hijau terbuka hanya sebesar 5,2%.

Sebaliknya, ruang "publik" yang dikomersilkan (seperti mal, kafe, dan taman hiburan) tumbuh dengan cepat. Sisanya adalah fakta bahwa kita harus membayar untuk mengakses sumber-sumber kekayaan sosial, sering kali tidak sepadan dengan manfaat yang didapatkan. Apakah membayar seratus ribu rupiah untuk menonton di bioskop atau berbelanja di mal merupakan dasar yang menyehatkan sendi-sendi sosial kita?

Mengapa fenomena ini terjadi?

Alasan utamanya adalah karena kita hidup di era neoliberal yang mengukur keberhargaan segala sesuatu dari profit yang dihasilkannya. Dengan begitu, apa pun yang dianggap tidak "produktif" dan tidak menghasilkan uang untuk para investor akan disingkirkan. Ruang publik (terbuka), tempat di mana orang dari berbagai latar belakang dapat mengaksesnya secara bebas tanpa harus membayar, merupakan salah satu barang yang dinilai tidak profitable.

Dampak dari penutupan atau, paling banter, komersialisasi ruang publik tidak hanya bersifat material, tetapi juga berimplikasi pada kesehatan mental dan kesejahteraan anggota masyarakat setempat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kekurangan (apalagi ketiadaan) ruang publik dapat memicu penurunan kepercayaan dan kohesi sosial, dan tidak kalah pentingnya, peningkatan isolasi sosial dan kesepian.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Psychology, Health & Medicine pada tahun 2015 menemukan bahwa penduduk yang tinggal di daerah yang kekurangan infrastruktur umum dan ruang publik lebih kesepian dan terisolasi secara sosial dibandingkan mereka yang tinggal di daerah berkecukupan. Selain itu, sebuah tinjauan sistematis terbaru juga menyimpulkan bahwa ruang hijau yang memiliki kualitas dan aksesibilitas tinggi dapat menjadi antidot kesepian.

Hal itu karena ruang publik terbuka berfungsi bukan hanya sebagai hiasan yang mempercantik lingkungan, tetapi terutama sebagai tempat yang memungkinkan kontak rutin dengan orang lain, khususnya tetangga dan warga sekitar. Kontak ini sangat penting bagi kelompok tertentu seperti lansia dan kaum remaja. Tanpa adanya tempat untuk dikunjungi dan sesuatu untuk dilakukan bersama, mereka tidak lagi memiliki alasan untuk keluar rumah dan, di atas segalanya, kehilangan rasa memiliki dan support system.

Bahkan ketika ruang publik yang dikomersilkan mampu memberikan rasa memiliki, inklusivitas di dalamnya masih dipertanyakan. Di tempat-tempat seperti itu, kita diperlakukan bukan sebagai warga negara yang memiliki hak atas kesejahteraan sosial dan emosional, melainkan konsumen yang memiliki uang untuk dibelanjakan. Kalaupun biaya yang harus dikeluarkan relatif kecil, hal itu masih bisa terasa seperti pajak hanya untuk mengobrol dengan teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun