Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Caraku Membuang Ingus tanpa Merusak Planet Ini

5 Februari 2024   17:34 Diperbarui: 5 Februari 2024   18:20 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siklus hidup setiap lembar tisu meninggalkan jejak ekologis yang signifikan | Ilustrasi oleh Gustavo Fring via Pexels

Lantas, dari mana pohon-pohon tersebut berasal?

Di kawasan Asia, sebagian besar bubur kayu diperoleh dari hutan di Asia Tenggara, termasuk hutan hujan Indonesia. Sejumlah bubur kayu lainnya berasal dari hutan-hutan di Amerika Selatan dan Amerika Serikat, dan yang paling terkenal adalah hutan boreal Kanada.

Di hutan boreal saja, bukan hanya pohon berusia ratusan tahun juga ikut ditebas, penggundulan untuk membuat kertas bertanggung jawab atas pelepasan 26 juta metrik ton karbon dioksida setiap tahunnya, setara dengan emisi 5,5 juta mobil baru di jalanan.

Semua itu hanya permulaan.

Pohon-pohon yang ditebang tersebut dicacah menjadi serpihan-serpihan dan lalu digiling menjadi bubur kertas, sebuah proses yang membutuhkan banyak air. Terlebih, produksi kertas membutuhkan energi dua kali lebih banyak daripada produksi kantong plastik.

Tisu sebenarnya bisa diproduksi dari kertas daur ulang, tapi hampir semua produk tisu yang diiklankan secara besar-besaran terbuat dari pohon. Mengapa mereka lebih memilih serat murni pohon daripada kertas daur ulang?

Alasannya adalah untuk memenuhi obsesi orang Indonesia (maksud saya, seluruh konsumen di dunia) terhadap tisu yang sangat lembut. Pohon hidup memiliki serat yang lebih panjang daripada kertas daur ulang, dan hal ini dapat membuat tisu lebih lembut (dan mewah).

Masalahnya, produksi bubur kayu murni menggunakan hampir dua kali lebih banyak air daripada memproduksi tisu dari bahan daur ulang. Satu lembar kertas memerlukan rata-rata tiga galon air, dan satu gulung tisu toilet biasanya menghabiskan 37 galon air.

Jadi, asumsi bahwa penggunaan tisu sekali pakai bisa menghemat air karena tak perlu membilas kain lap tidaklah benar. Jumlahnya bisa lebih banyak lagi pada konteks tisu basah. Terlebih, bubur kayu murni juga menghasilkan dua kali lebih banyak polutan udara.

Setelah tisu dikemas dan diangkut, yang menghasilkan limbah plastik dan membutuhkan gas dan energi sangat banyak, tisu sampai di toko-toko terdekat kita dan siap untuk dikonsumsi. Usai digunakan, mereka harus pergi ke suatu tempat, bukan?

Sekarang kita amati nasib setiap lembar tisu di tempat pembuangan akhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun