Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengurai Stigma Kesepian

18 November 2023   06:30 Diperbarui: 18 November 2023   07:46 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesepian masih menjadi topik yang tabu sehingga orang sering kesulitan untuk menceritakannya | Ilustrasi oleh Dmytro via Pixabay

Banyak dari kita yang sedang berjuang menghadapi kesepian, tapi memilih untuk memendamnya atau bahkan menyangkalnya pada diri sendiri. Kita sering kali menganggap kesepian sebagai suatu ketidakmampuan sosial, jadi kita merasa malu mengakuinya.

Terlebih, sebagai masyarakat, kita juga cenderung bersikap "jalani saja", yang akhirnya menghalangi orang untuk membicarakan apa yang mereka rasakan. Kita yakin perasaan kita bukanlah hal penting. Kita takut cerita kita menghamburkan waktu orang lain.

Saya pernah terkurung dalam asumsi tersebut, dan terkadang masih.

Ketika orang bertanya mengenai apa yang saya tulis, dan saya katakan bahwa saya menulis tentang kesepian, saya tak bisa menahan beban dari kata itu. Tak ada kebanggaan. Tak ada kepercayaan diri. Sebaliknya, saya jadi agak suram dan menggeliat.

Minat saya pada isu kesepian, beserta semua kalimat yang saya tulis tentangnya, membuat orang-orang beranggapan bahwa saya sedang (atau telah) mengalami kesepian yang begitu kronis. Jika saya bisa mengatakannya, berarti saya pernah merasakannya.

Dan itu benar, setidaknya menurut persepsi saya sendiri.

Tapi, stigma kesepian masih sering menghantui saya. Maksudnya, meskipun jelas bahwa pengalaman pribadi telah membantu saya untuk melukiskan kesepian dengan lebih gamblang, terkadang saya merasa risih jika orang mengetahui saya kesepian.

Sungguh ironis. Setelah mengkaji, menjajal, dan mengalami kesepian selama setidaknya dua tahun terakhir, saya seharusnya sadar dan tahu bahwa stigma tersebut hanyalah mitos. Tak ada yang perlu dipermalukan. Kesepian adalah emosi keseharian manusia.

Dari mana stigma kesepian berasal? Mengapa stigma membuat kita menjadi lebih kesepian dari yang seharusnya? Apa yang bisa kita lakukan, kalau memang ada, untuk mengatasinya? Bisakah kita, pada akhirnya, memecah kesunyian ini?

Lingkaran setan kesepian

Kesepian masih menjadi topik yang tabu. Inilah mengapa kesepian adalah sebuah kata yang berat, sulit, dan memicu rasa malu. Reaksi pertama orang yang kesepian biasanya bukanlah pergi berinteraksi, tapi menyalahkan diri sendiri.

Ada tekanan sosial yang aneh untuk punya banyak teman; jika tidak, kita merasa telah gagal sebagai manusia. Dan karena kita tak mau dipandang "gagal", kita kemudian mengubur atau menyangkal rasa kesepian yang kita alami, berharap itu melindungi citra sosial kita.

"Kesepian," ungkap Olivia Laing dalam bukunya The Lonely City, "terasa seperti pengalaman yang memalukan, sangat bertentangan dengan kehidupan yang seharusnya kita jalani, suatu keadaan tabu yang pengakuannya seolah ditakdirkan untuk membuat orang lain minggat."

Lagi pula, untuk beberapa alasan, kita mengira bukan hal yang pantas untuk membicarakan diri sendiri. Kita yakin bahwa kehidupan pribadi seseorang seharusnya tetap menjadi rahasia pribadi dan kita tak suka orang yang "memamerkan diri".

Kita menganggap perasaan dan emosi kita sebagai sesuatu yang seharusnya tetap tersimpan dalam privasi total. Alhasil, bagi sebagian orang, lebih mudah untuk mengakui bahwa mereka punya penyakit daripada merasa kesepian.

Apa yang mungkin ingin kita katakan kepada orang-orang ini adalah bahwa merasa kesepian bukan berarti kita lemah atau pengecut. Sebaliknya, ini menandakan bahwa kita memiliki kebutuhan normal selayaknya manusia mana pun, yaitu hubungan sosial.

Tapi, sekalipun orang mengetahui dan menyadari pemahaman mendasar tersebut, bercerita tentang perasaan kesepian tetaplah sulit. Dengan kata lain, sadar akan stigma kesepian saja tak serta-merta memudahkan orang untuk berbagi.

Saya, misalnya, sering menolak mengungkapkan kesepian saya karena takut orang lain salah memahami saya. Jika saya memberitahu seorang teman bahwa saya kesepian, ini mungkin akan terdengar seperti, "Lihat, kau gagal memuaskan kebutuhan sosialku."

Padahal sebenarnya saya tak bermaksud menyalahkan dia atas rasa kesepian saya. Justru saya datang untuk meminta bantuannya. Kesepian memiliki banyak sebab, tapi orang sering kali menganggapnya hanya satu: kekurangan teman.

Seorang teman bercerita bahwa dia enggan berterus-terang tentang kesepiannya karena sekali waktu dia pernah ditanggapi secara negatif. Dia ditertawakan, katanya, seolah kesepian sama artinya dengan gagap sosial.

Pengalaman itu telah membuatnya selalu ketakutan akan reaksi orang lain, bahkan tentang semua perasaan dan bukan hanya kesepian. Dia khawatir akan dihakimi, dikasihani, dilihat berbeda atau aneh. Dia telah menjadi manusia yang dipaksa hidup seperti robot.

Kesenyapan kita tentang masalah kesepian telah menjadikannya semakin parah.

Stigma kesepian menghalangi orang untuk membicarakan pengalaman kesepian mereka dan mencari bantuan. Sekalipun mereka benar-benar mencari bantuan, penyedia layanan (entah formal atau informal) akan kesulitan mengidentifikasi tingkat kesepian mereka.

Kebanyakan dari kita, karena menganggap kesepian bukanlah masalah sosial yang penting, membiarkan rasa kesepian datang dan berlalu, seperti berbagai emosi lain pada umumnya. Tapi, alih-alih terobati, kita hanya teralihkan.

Ketika perasaan itu datang lagi, dengan keyakinan "biarkan dan jalani saja", kesepian sudah menggerogoti seperempat dari diri kita. Tanpa perhatian serius terhadapnya, segala sesuatu dalam hidup kita merosot dan membusuk. Jika kehabisan waktu, apa lagi?

Semua itu menciptakan lingkaran setan kesepian.

Prinsip "biarkan dan jalani saja" sebenarnya memicu serangkaian reaksi psikologis yang bisa membuat kita secara tak sengaja memperburuk keadaan. Bisa dibilang, tindakan seperti itu justru menyebabkan hal yang ingin kita hindari semakin menjadi-jadi.

Perhatikan polanya: orang kesepian tak ingin orang lain menganggap ada yang salah dengan dirinya, jadi mereka makin mengurung dan mengisolasi diri mereka sendiri, dan ini adalah pelumas yang membawa mereka ke lorong kesepian yang lebih gelap.

Hal itu menunjukkan bahwa stigma kesepian tak bisa hilang hanya karena beberapa orang telah menyadarinya. Sekalipun Anda tahu betapa normalnya untuk merasa kesepian, jika orang di sekitar Anda tak memahaminya, Anda akan tetap enggan bercerita.

Hal tersebut agaknya berkaitan dengan keunikan dari kesepian itu sendiri.

Masalah kesepian bersifat interdependen atau saling tergantung. Artinya, pembebasan diri dari kesepian memerlukan keterlibatan orang lain. Upaya-upaya seperti mencari dukungan dan membangun hubungan merupakan kegiatan yang saling bergantung.

Demikianlah, saya tak mungkin mengatasi kesepian saya hanya seorang diri. Suka-tak-suka, kesepian saya bukan hanya bergantung pada apa yang saya lakukan tentangnya, tapi juga bergantung pada bagaimana orang lain memperlakukan saya.

Saya bisa saja berusaha mati-matian untuk menyelesaikan kesepian saya sendiri. Misalnya, saya telah menghubungi banyak teman lama, mengajak mereka untuk bersua lagi di tempat-tempat yang dulu menjadi favorit kami.

Faktanya, saya sadar akan stigma kesepian, jadi saya berusaha untuk menerobos kesunyian tentangnya, mencoba berterus-terang pada mereka perihal mengapa kesepian menjadikan saya kurang bahagia selama dua tahun terakhir.

Tapi, jika mereka menolak ajakan saya, atau menerima dan menertawakan pengakuan saya, apakah kesepian saya akan terobati? Hal yang mungkin terjadi adalah saya kapok dan makin teryakinkan bahwa seharusnya saya diam saja dan memendamnya sendiri.

Kemudian saya hanya menjadi kian kesepian. Saya masuk ke dalam lingkaran setan.

Sisyphus Project

Perubahan harus dimulai dari suatu tempat, dan saya percaya itu bisa dimulai dari sekeliling kita. Bukan dengan cara memaksa, tapi sesederhana meyakinkan mereka bahwa kita semua mengalami kesepian dan tak apa-apa untuk membicarakannya secara terbuka.

Dengan keyakinan itulah saya memulai sebuah proyek kecil bernama "Sisyphus Project".

Ini sebenarnya merupakan sejenis series liputan yang memotret pengalaman kesepian dari berbagai segmen populasi: mahasiswa, buruh, single mom, kaum difabel, lansia. Kebetulan saya sedang magang di sebuah media lokal Bandung.

Orang kesepian biasanya berpikir bahwa merekalah satu-satunya yang kesepian. Atas dasar itu, agar mereka tak merasa sendirian dalam kesendirian, dan karenanya mendorong mereka untuk melakukan dan mengubah sesuatu, saya memulai Sisyphus Project.

Dengan membicarakannya, kita bisa merasa lebih baik. Jauh lebih baik. Sadar bahwa semua orang berada di perahu yang sama, bahwa kita bukanlah satu-satunya yang terjebak dalam kenyataan yang menyedihkan, saya pikir stigma kesepian dapat berkurang.

Jadi, melalui proyek kecil ini, saya mengajak orang-orang untuk bercerita.

Seorang mahasiswa akhir perantauan, yang dulunya menjabat ketua himpunan mahasiswa, bercerita pada saya bahwa sebelumnya ia menghindari berbagi rincian kesepiannya karena tak mau dianggap lemah, tak kompeten, dan tak penting.

Ia berpikir lebih baik menderita dalam diam daripada menjadi beban bagi orang lain. Setiap kali orang-orang bertanya, ia hanya mengatakan, "Oh bukan apa-apa, aku hanya mengalami hari yang buruk." Tapi, katanya, setiap hari adalah hari yang buruk.

Kesepian telah membuatnya berjarak dengan orang lain, termasuk anggota himpunan. Ia tak menghadiri acara-acara penting, absen kelas cukup sering. Performa akademik anjlok, dan ia sering kali merasa gagal menjadi ketua himpunan.

Ia perlahan menemui jalannya lagi setelah berkonsultasi dengan layanan profesional.

Seorang single mom berkeluh kesah kepada saya mengenai sulitnya menyeimbangkan waktu antara pekerjaan, mengasuh anak, dan ekspektasi masyarakat. Pertemanannya telah pudar sejak menikah, dan kini ia hanya tinggal bersama anaknya yang masih SD.

Hampir setiap malam, setelah menidurkan anaknya, ia dirundung dengungan senyap rumah, menenangkan sekaligus mematikan. Ia ingin bercerita pada teman lamanya, tapi merasa tak berdaya. Apakah anaknya akan mengerti jika ia bercerita padanya?

Daftarnya masih panjang, tapi saya akan berhenti di sini. Mereka berdua cukup mewakili.

Pada intinya, menceritakan kesepian bukanlah semata pengungkapan diri; ini adalah sebuah panggilan untuk menyatukan hati dan pikiran. Saat kita berbagi cerita tentang kesepian, kita membuka pintu empati. Ini adalah jembatan yang menyatukan kita.

Sisyphus Project, sampai tulisan ini terbit, belum selesai. Tapi, secara pribadi, ada kesimpulan mengejutkan yang menggigit saya: pengalaman pahit dan menyedihkan seperti kesepian, jika kita menghilangkan stigmanya, dapat menjadi pemersatu kita.

Maksud saya, siapa sangka bahwa hal yang menghubungkan kita satu sama lain, dalam satu perspektif, ternyata adalah sesuatu yang membuat kita sama-sama menderita. Dengan menyadari stigmanya, kita telah menghancurkan tembok-tembok pemisah kita.

Saya sangat terharu dengan perkataan seorang difabel yang menjadi salah satu narasumber saya: "Cerita padaku kalau kamu merasa kesepian. Mungkin itulah yang menyamakan kita, pada akhirnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun