Ada sebuah paradoks yang menggelikan tentang kehidupan urban: orang merasa kesepian secara kolektif. Bagaimana mungkin kota, kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan ruang pertemuan sosial yang begitu banyak, justru menjadi sarang kesepian?
Mungkin keanehan itulah yang membuat pengalaman kesepian urban memiliki rasa khusus. Ini sangat menyakitkan. Rasa sakit karena tersisihkan dari dunia sekitar yang tampak sangat menyenangkan bisa membuat kita depresi.
Seseorang mungkin merasa kesepian karena sahabatnya baru saja meninggal, dan tak pelak lagi ia sangat menderita. Tapi, seiring waktu, lukanya sembuh. Kasusnya agak berbeda dengan seseorang yang kesepian di dalam kerumunan, bising dan (kelihatan) riang.
Ia percaya bahwa kesepian hanya miliknya, sebab semua orang di sekitarnya sedang menari penuh tawa atau menjajal toko demi toko dengan keluarga dan sahabatnya. Ia bukan bagian dari mereka. Setiap keriangan mereka adalah jeritan pedih baginya.
Kesepian semacam itu, sayangnya, jarang bisa sembuh oleh waktu.
Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa kedekatan fisik saja tak cukup untuk mengatasi rasa keterasingan. Kota memungkinkan kehadiran manusia lain secara massal, tapi nyatanya kota telah menjadi tempat yang sepi, dingin, dan lengang.
Sebagaimana ungkap sosiolog Jerman Georg Simmel, "Tak ada orang yang merasa kesepian dan tersesat seperti di tengah keramaian metropolitan." Mengapa bisa begitu? Bagaimana kita bisa menjelaskan paradoks yang menggelikan ini?
Terputus di perkotaan
Perhatikan lukisan "Nighthawks" (1942) karya Edward Hopper. Amatilah sosok-sosok bungkuk yang duduk di bangku sepanjang meja ramping sebuah restoran yang buka sepanjang malam itu. Bagi saya, mereka seperti terkurung dalam... penjara.
Mungkin restoran itu adalah semacam tempat perlindungan, tapi tak ada pintu masuk yang terlihat. Tak ada cara untuk masuk atau keluar. Ada sebuah pintu berwarna kuning oker di bagian belakang lukisan, yang tampaknya mengarah ke dapur internal.