Teori konspirasi merupakan fenomena marginal, sejenis pengetahuan tandingan yang tanpa bukti, jadi seharusnya tak mungkin bisa merusak pemilu yang berintegritas. Biarpun begitu, jika digunakan secara efektif, teori-teori ini bisa sangat mengganggu.
Lihatlah kembali Pemilu 2019.
Tak lama usai surat suara dihitung, kandidat presiden yang kalah dan para pendukungnya bersikeras bahwa pemilu telah dicurangi. Mereka menuduh adanya konspirasi tersembunyi, entah membuang suara sah atau membuat suara ilegal yang akhirnya merugikan mereka.
Pemikiran konspiratif ini, dan bukannya fakta, sudah cukup untuk mendorong kubu mereka menggelar aksi protes di jalanan Jakarta. Hasilnya, menurut laporan Komnas HAM, terdapat korban tewas setidaknya 10 orang dan korban luka-luka lebih dari 200 orang.
Asumsi bahwa teori konspirasi seperti itu tak akan muncul lagi pada Pemilu 2024 benar-benar naif. Kita telah mendengar sebagian darinya: lembaga survei berusaha menjatuhkan calon A, koalisi B bersekongkol dengan hakim, agen negara diam-diam ikut campur.
Saya tak menuduh semua itu salah, dan saya juga tak mengatakannya sebagai benar.
Apa yang tepatnya ingin saya katakan adalah bahwa teori konspirasi, sekonyol apa pun itu, memiliki konsekuensi yang sama sekali tak lucu. Sekalipun jumlahnya kecil, dampaknya bisa merugikan orang-orang baik dan masyarakat secara keseluruhan.
Pemikiran konspiratif, terutama pada masa ketidakpercayaan dan keberpihakan yang sengit, sebagaimana kasus kekerasan Pemilu 2019, memotivasi orang untuk bertindak dengan cara-cara yang menyinggung atau bahkan kekerasan.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan? Benarkah teori konspirasi dapat merusak demokrasi dan, khususnya, mengacaukan proses pemilu? Adakah manfaat tertentu yang kita lewatkan dari teori-teori konspirasi bagi demokrasi, terutama pemilu?
Saya akan mulai dari pertanyaan terakhir.