Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Mengapa Begitu Banyak Tulisan yang Buruk?

10 Oktober 2023   20:00 Diperbarui: 10 Oktober 2023   20:07 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tulisan yang buruk ada di mana-mana dan dibuat oleh banyak orang, bahkan penulis profesional sekalipun | Ilustrasi oleh StockSnap via Pixabay

Para pria kutu buku menulis karya sastra sebagai bentuk balas dendam kepada perempuan-perempuan yang dulu menolaknya saat SMP. Kaum intelektual menulis kata-kata yang "canggih" untuk menyembunyikan fakta bahwa mereka tak punya apa-apa untuk dikatakan.

Kaum akademisi mendandani hal-hal sepele dan tak penting dengan hiasan bahasa ilmiah, menjelaskannya secara rumit dan susah dimengerti, berharap bisa bikin para pembacanya terkagum-kagum pada "keluasan wawasan" mereka.

Teori ini mungkin benar, tapi tetap saja tak masuk akal. Jika tulisan buruk memang tercipta karena niat buruk dari penulisnya, berarti mereka yang punya niat baik pasti menghasilkan tulisan-tulisan bagus. Kenyataannya, tentu saja, tak begitu.

Ada banyak cendekiawan yang tak menyembunyikan apa pun dan tak berusaha membuat pembacanya terkesan. Mereka jujur dan bersahaja, tipe orang yang bisa kita ajak ke pesta. Mereka bahkan menghasilkan ide-ide brilian dan melakukan terobosan dalam bidang-bidang penting.

Tetap saja, tulisan mereka jelek. Tulisan yang bagus tak ada kaitannya dengan tingkat dan derajat moral seseorang.

Teori #2: Media digital merusak bahasa

Kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis (Tweet, pesan WA, email) daripada sebelumnya, dan itu bagus. Kita pasti menduga bahwa populasi yang suka bermain bola akan menghasilkan tim sepak bola yang bagus, dan mungkin menulis setiap hari akan berdampak sama positifnya.

Menurut teori ini, justru sebaliknya: Google bikin kita bodoh, dan X (dulunya Twitter) merusak tata bahasa kita karena memaksa kita untuk menulis dalam 280 karakter. Gegara media digital, katanya, kaum muda tak bisa mengingat baris-baris puisi seperti pendahulunya.

Tapi, sejauh ini belum ada bukti langsung yang mengonfirmasi bahwa kebiasaan mengirim pesan instan menyebabkan penurunan kemampuan menulis formal, seperti kemampuan kita dalam menggunakan tata bahasa dan tanda baca dengan benar.

Masalah lainnya, teori ini secara tersirat juga mengasumsikan bahwa sebelum kemunculan media digital, kita pernah memiliki setidaknya satu generasi yang menulis nyaris secara sempurna, tak ada cela atau aneka kesalahan lainnya yang dilakukan generasi kita.

Namun, dalam penelusuran Steven Pinker, ilusi ini ada di setiap zaman.

Pada tahun 1978, ada keluhan begini: "Lulusan baru, termasuk yang bergelar sarjana, tampaknya tak menguasai bahasa sama sekali. Mereka tak bisa membuat kalimat deklaratif sederhana, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka tak bisa mengeja kata-kata keseharian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun