Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Selain Diet Makanan, Kita juga Perlu Diet Informasi

28 Agustus 2023   16:29 Diperbarui: 29 Agustus 2023   01:31 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konsumsi terlalu banyak informasi tidaklah baik untuk kesehatan mental kita | Ilustrasi oleh Karolina Grabowska via Pixabay

Saat ini kita memiliki terlalu banyak informasi. Aliran konten terlalu deras, terlalu cepat, terlalu intens, terlalu menarik, dan terlalu menumpuk. Kita tak hanya menjadi penerima, tapi juga partisipan dalam ledakan informasi ini. Kita merasa takut ketinggalan.

Saya tak terkecuali. Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya (merasa) harus mengetahui informasi terbaru, mengikuti arus politik yang tiada henti dan sering kali absurd, dan menerka-nerka manuver para politisi yang kebanyakan pragmatis dan/atau oportunis.

Semua itu bikin saya kewalahan. Saya menjadi sadar akan banyak hal, tapi sedikit sekali (kalaupun ada) yang bisa saya lakukan. Nyaris setiap berita mendorong saya untuk berbicara dan bertindak; hanya saja, hampir semuanya berada di luar kendali saya.

Dalam sebuah studi di Amerika tahun 2022, ilmuwan politik Kevin Smith memperkirakan bahwa sekitar 50-85 juta orang Amerika menderita kelelahan yang disebabkan oleh politik. Sebesar 40% melaporkan bahwa politik adalah sumber stres dalam hidup mereka.

Itu karena dalam politik, orang kerap diberitahu bahwa segala sesuatu sedang "bermasalah" meskipun sebenarnya tidak. Politik meramalkan terlalu banyak bencana. Alhasil, orang jadi gampang khawatir, marah, bahkan putus asa.

Seorang teman yang idealis pernah mengeluh kepada saya: "Haruskah nanti aku memiliki anak, mengingat krisis iklim yang akan dihadapinya?" Ini terdengar mulia; saya menanggapinya dengan serius. Di ujung, saya bergurau bahwa dia terlalu banyak membaca berita.

Tentu saja, sebagai warga negara dan bukan mahasiswa ilmu politik, saya tak bilang berita politik itu tak penting. Di sini saya akan menunjukkan bahwa menerima terlalu banyak informasi, paradoksnya, justru tak membuat kita makin pintar (apalagi bijaksana).

Apa yang kita perlukan sekarang adalah diet informasi.

Kecanduan informasi

Bagi nenek moyang kita, informasi adalah urusan bertahan hidup. Anda pastinya tak mau berjalan di tengah hutan sendirian sambil mewaspadai bison, tapi kemudian mati karena keracunan buah yang Anda petik sendiri.

Memang, bagi otak, informasi adalah semacam hadiah tersendiri, terlepas apakah itu berguna atau tidak. Sama seperti kita menyukai kalori kosong dari makanan cepat saji, otak bisa melebih-lebihkan penilaian terhadap informasi meskipun mungkin itu tak berguna.

Semua informasi baru dan menarik menyebabkan dopamin dilepaskan di otak kita, zat kimiawi kesenangan. Inilah mengapa, bahkan ketika kita sudah lelah, kita masih menginginkannya lebih banyak lagi. Kita adalah pecandu informasi.

Kini untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita terpapar arus informasi yang begitu konstan. Kita jatuh ke lubang kelinci, menggulir feed tanpa berpikir, menonton video demi video dan memeriksa setiap meme. Kita telah hilang kendali atas apa yang kita konsumsi.

Sayangnya, kelebihan informasi tak lebih baik daripada kekurangan informasi. Kita menciptakan takhayul bahwa mengetahui lebih banyak informasi bisa membuat kita lebih pintar dan bijaksana. Padahal, seperti terlalu banyak makan, ini tak menyehatkan.

Terlalu banyak informasi, apalagi berantakan dan tampak tak berhubungan, bisa bikin kita kewalahan. Dalam kondisi ini, informasi bukan lagi bahan yang memungkinkan orang untuk berpikir, tapi justru penghalang yang sepadan dengan tiadanya informasi.

Filsuf Mark Satta menyebut keadaan tersebut sebagai "kelelahan epistemik": sejenis keletihan yang terkait dengan pengetahuan. Tentu saja, bukan pengetahuan itu sendiri yang bikin kita lelah, melainkan proses untuk mendapatkan atau berbagi pengetahuan.

Ada sedikitnya tiga faktor yang menyebabkan kelelahan semacam itu. Pertama, menerima lebih banyak informasi, paradoksnya, bikin kita sadar akan lebih banyak ketidakpastian. Ingat teman saya yang bertanya apakah harus memiliki anak di tengah krisis iklim?

Kedua, semakin banyak dan beragam informasi yang kita terima, kita biasanya merasa semakin bingung dan tak yakin tentang siapa atau apa yang harus kita percayai. Kondisi ini menciptakan stres dan beban emosional, terutama kalau isu-isu itu bersifat sensitif.

Ketiga, selain rentan terkena informasi salah, kita juga dibuat lelah untuk memeriksa kebenaran suatu informasi. Ketika batas antara kebohongan dan fakta semakin mengabur, waktu dan energi yang kita habiskan untuk memeriksa dan menyanggah informasi juga semakin banyak.

Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk menghindari kelelahan epistemik?

Saatnya diet informasi

Solomon Shereshevsky, atau dikenal sebagai "pria yang tak bisa lupa", punya ingatan yang fantastis. Shereshevsky bisa menghafal daftar angka yang sangat panjang dan informasi yang tak masuk akal, bahkan formula ilmiah rumit yang tak dia mengerti.

Luar biasanya lagi, dia masih bisa mengingat semua itu secara berurutan dan tanpa kesalahan ketika peneliti mengujinya kembali bertahun-tahun kemudian. Dia benar-benar manusia super! Namun, kemampuan mencengangkan Shereshevsky ada harganya.

Dia merasa terbebani oleh informasi yang berlebihan dan sering kali merasa kesulitan untuk memfilter, memprioritaskan, dan melupakan apa yang tak dia inginkan atau butuhkan. Ketidakmampuannya untuk melupakan ternyata menghambat kesehariannya.

Kisah Shereshevsky mungkin terasa begitu jauh bagi kita. Jangankan mengingat rumus fisika, lirik lagu kesukaan saja kadang kita lupa. Tapi sebenarnya kita semua, pada tingkatan yang berbeda-beda, mengalami masalah yang serupa dengan Shereshevsky.

Sebelum adanya internet, sulit untuk mengakses informasi yang relevan; kini, kita sangat kesulitan untuk memilih dan membedakan informasi yang relevan.

Memang, informasi dan pengetahuan adalah sesuatu yang sangat hebat. Namun, semua itu juga punya kualitasnya tersendiri. Meskipun penting untuk tetap terinformasi, terlalu banyak informasi dapat memicu kebingungan, kecemasan, dan kontraproduktif.

Ironisnya, harus saya katakan, terkadang lebih baik untuk tak tahu. Terkadang ketidaktahuan adalah kebahagiaan, terutama pada era di mana berita-berita mengedepankan sensasionalisme. Jika kita tak bisa bebas dari berita, kita bisa, paling tidak, diet terhadapnya.

Sama halnya ketika kita mencoba diet makanan untuk meningkatkan kesehatan fisik kita, diet informasi adalah cara untuk mengontrol apa yang kita konsumsi guna menjaga kesehatan mental kita.

Ini tak sama dengan detoksifikasi digital, yang tujuannya adalah memutuskan hubungan sepenuhnya. Justru, diet informasi adalah soal merancang kebiasaan kita dan membentuk lingkungan kita sehingga kita bisa mengonsumsi informasi dengan penuh kesadaran.

Jika sebelumnya kita terbiasa memikirkan "obesitas" dalam hal fisik (berat badan berlebihan yang menyumbat arteri dan membebani jantung kita), kini kita harus menyadari adanya "obesitas informasi" yang menyumbat mata, pikiran, dan inbox kita.

Kita harus belajar bagaimana menyaring, memahami dari mana informasi berasal dan siapa yang berada di belakangnya. Bayangkan Anda memasuki ruangan yang penuh dengan makanan; jika Anda tak bisa mengendalikan diri, Anda bisa memakan semuanya dan lalu jatuh sakit.

Hal yang sama juga terjadi pada informasi. Dalam bukunya "The Information Diet: A Case for Conscious Consumption" (2012), Clay Johnson menganalogikan diet informasi dengan diet Michael Pollan.

Diet Michael Pollan kira-kira begini: "Makanlah makanan. Jangan berlebihan. Sebagian besar tanaman." Dalam hal informasi, Johnson mengubahnya menjadi begini: "Carilah informasi. Jangan berlebihan. Sebagian besar fakta."

Tentu saja, ada banyak perspektif dan pendekatan yang bisa kita ambil untuk menerjemahkan maksud Johnson tersebut, dan Johnson sendiri juga menguraikan beberapa di antaranya. Di sini saya hanya akan membagikan beberapa hal yang saya upayakan.

Pertama, mengkurasi kotak masuk. Dulu saya berlangganan banyak situs, entah itu lokal maupun luar. Setiap kali saya memeriksa email dan mendapati konten-konten baru yang menarik, saya spontan membukanya. Satu konten menggiring ke konten lain. Satu jam telah berlalu.

Minggu kemarin saya memfilternya dan hanya menyisakan beberapa situs yang memang menghasilkan konten berkualitas; sisanya saya berhenti berlangganan email. Pastinya, selain mengontrol kotak masuk, saya juga harus belajar mengendalikan diri.

Kedua, menambah lebih banyak "santapan offline" ke menu saya. Ini tak berhubungan dengan kualitas konten, tapi saya merasa lebih susah fokus atau berlama-lama ketika membaca konten online. Mata perih dan notifikasi ini-itu sering membuyarkan konsentrasi.

Ketiga, saya membatasi diri pada konten-konten dari media yang sudah terpercaya. Seperti halnya diet makanan, diet informasi akan berhasil kalau kita tak menyangkal informasi, melainkan dengan mengonsumsi informasi yang tepat dan mengembangkan kebiasaan sehat.

Jika kita ingin membuat media menjadi lebih baik, maka kita harus mulai mengonsumsi media yang lebih baik. Ingat, setiap berita atau konten lainnya yang kita klik di internet bisa jadi juga memengaruhi apa yang orang lain baca (atau tonton dan dengar).

Ketika mengkliknya, kita membuatnya lebih terlihat, dan karenanya lebih mungkin diklik, oleh orang lain. Ini karena konten dengan klik terbanyak akan muncul di halaman depan. Setiap klik, dalam taraf tertentu, punya konsekuensi etis buat kita dan orang lain.

Epilog

Pada akhirnya, seperti junk food dapat menyebabkan obesitas, terlalu banyak informasi juga dapat menyebabkan ketidaktahuan. Diet informasi merupakan cara bertahan di tengah kekenyangan informasi ini: apa yang harus dicari, dibaca, dan dihindari.

Tapi itu bukan berarti "junk information" tak boleh dikonsumsi sama sekali. Saya masih suka membuka Quora untuk memerhatikan bagaimana orang-orang berdebat dan berpendapat tentang hal-hal yang sering kali terkesan aneh dan konyol. Saya menikmatinya.

Hanya saja, saya pergi ke sana ketika selesai membaca buku atau menyelesaikan sebuah esai. Jika saya belum selesai mengonsumsi konten-konten terbaik yang ditawarkan dunia, membaca lebih banyak "junk information", di semesta saya, hukumnya "haram".

"Junk information" merupakan pengalih perhatian dari hal-hal terpenting yang sebenarnya akrab buat kita: keluarga, persahabatan, komunitas. Waktu kita di Bumi ini terbatas; kita mesti memilih secara bijak apa yang harus kita lakukan dengan waktu tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun