Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Alasan Mengapa Saya Bukan Seorang Stoik

18 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 21 Agustus 2023   18:56 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung berkuda Kaisar Marcus Aurelius di pusat Piazza del Campidoglio | Gambar oleh Serghei Topor via Pixabay

Jadi, jika yang "internal" ternyata memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang "eksternal", pembedaan terhadap keduanya tak begitu masuk akal. Laba-laba itu penyendiri. Manusia tidak. Tak ada manusia yang merupakan sebuah pulau, dan seluruhnya adalah dirinya sendiri.

Di samping itu, karena lebih mengutamakan nalar daripada emosi, Stoa membuat kita kesulitan untuk terhubung dengan orang lain. Kita semua terhubung melalui emosi. Tanpa keterhubungan ini, sulit bagi kita untuk mengenal siapa diri kita.

Ketiga, dikotomi kendali tidaklah realistis. Salah satu praktik terpenting dalam filsafat Stoa adalah membedakan antara apa yang bisa kita ubah dan apa yang tak bisa kita ubah, apa yang bisa kita pengaruhi dan apa yang tak bisa kita pengaruhi. Inilah dikotomi kendali.

Penerbangan ditunda karena cuaca, teriakan sekeras apa pun tak akan mengakhiri badai. Harapan sebesar apa pun tak akan mengubah tempat seseorang dilahirkan. Percuma berusaha membuat orang lain menyukai kita. Ini mewakili hal-hal yang berada di luar kendali kita.

Stoikisme menunjukkan bahwa satu-satunya hal yang berada di bawah kendali kita adalah respons kita terhadap dunia. Meski badai berlangsung, saya bisa membuatnya jadi momen yang seru. Saya lahir di Indonesia dan bukan Finlandia; saya terima dan harus memanfaatkannya.

Dikotomi kendali, saya akui, memang berguna secara praktis. Stoa menyarankan agar kita tak merasa negatif atau positif tentang hal-hal yang tak bisa kita kendalikan. Namun, saya punya masalah dengan hal ini.

Saya tak bisa mengendalikan cuaca, tapi masuk akal, mengingat preferensi saya pribadi, untuk merasa senang dengan hari yang cerah dan sedih dengan hujan deras. Saya tak bisa membuat orang lain menyukai saya, tapi wajar kalau saya merasa terganggu dengan itu.

Lagi pula, ada banyak hal di dunia ini yang bisa saya kendalikan. Saya bisa mengendalikan motor saya ketika saya berkendara ke pusat kota, mengendalikan api unggun saat berkemah. Saya bahkan bisa "mengendalikan" orang lain sampai tingkatan tertentu.

Katakanlah sahabat saya baru saja gagal dalam ujian akhir semester. Sebagai seorang Stoik yang baik, saya bisa saja menerima hal itu dan menjadikannya nyaman buat saya sendiri. Namun lebih baik saya buatkan dia kopi dan duduk mendengarkan keluhannya.

Para penulis yang mempopulerkan Stoikisme, seperti Ryan Holiday dan Massimo Pigliucci, menyadari masalah ini. Pada titik tertentu, masing-masing dari mereka menunjukkan bahwa mempraktikkan Stoa dapat menjadi progresif dan aktivis.

Akademia Stoa terbuka untuk perempuan, tak seperti kebanyakan akademia lain. Epictetus, sebagai seorang budak, membuktikan bahwa status sosial-ekonomi tak menghalangi seseorang untuk menjadi bijaksana. Namun, tetap saja, dikotomi kendali membawa kita pada masalah kepasifan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun