Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Alasan Mengapa Saya Bukan Seorang Stoik

18 Agustus 2023   07:00 Diperbarui: 21 Agustus 2023   18:56 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung berkuda Kaisar Marcus Aurelius di pusat Piazza del Campidoglio | Gambar oleh Serghei Topor via Pixabay

Bagaimana seseorang bisa mencapai itu? Stoa percaya bahwa jawabannya terletak pada prioritas seseorang. Apa yang kita sebut baik atau buruk, berharga atau hina, menurut Stoa, hanyalah nilai-nilai yang kita tambahkan ke berbagai hal.

Dalam hal ini, Stoa adalah sejenis filosofi untuk memilih penilaian kita. Ada sebuah gagasan yang masuk akal bahwa kebahagiaan dan ketidakbahagiaan itu tak hanya terletak pada peristiwa eksternal, tapi juga pada reaksi kita terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.

Seperti yang dikatakan Shakespeare dalam Hamlet, "Tak ada sesuatu yang baik atau buruk; pemikiranlah yang membuatnya begitu." Saat ini, Stoikisme telah memengaruhi dan menemukan ekspresi modernnya dalam Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Tentu saja, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang Stoikisme. Namun, untuk tujuan artikel ini, saya pikir uraian di atas sudah cukup. Pada tahun pertama perjumpaan saya dengan Stoa, saya kagum dan berusaha menerapkannya. Kini harapan saya memudar.

Saya akan menguraikan tiga alasan mengapa saya bukan (lagi) seorang Stoik.

Pertama, Stoa cenderung menentang sebagian besar emosi. Kaum Stoik menganggap sebagian besar emosi sebagai sesuatu yang buruk, dan dengan begitu kita harus menguranginya sebisa mungkin. Seorang Stoa yang bijak mungkin akan memotong saya.

"Tahan! Kau salah paham. Stoa adalah tentang penjinakan emosi, bukan menghilangkannya. Manusia ideal Stoa bukanlah seorang jutek yang hanya mencari rasionalisme dan tak berperasaan." Ya, Epictetus bilang bahwa hidup yang baik bukanlah "seperti patung".

Ada banyak potensi untuk basa-basi ilmiah di sini. Namun, bagaimanapun orang membacanya, jelas bahwa kaum Stoik menentang sebagian besar emosi. Mereka percaya bahwa emosi merupakan tanda kemelakatan kita pada sesuatu, dan itu membuat diri kita rentan tersakiti.

Perkataan Epictetus berikut adalah contoh yang bagus: "Jika Anda mencium anak Anda, atau istri Anda, katakan (dalam diri) bahwa Anda hanya mencium seorang manusia, dan dengan demikian Anda tak akan terganggu kalau salah satu dari mereka meninggal."

Dalam hal ini, karena menghargai kehidupan dan segala hal yang kita cintai berpotensi mendatangkan rasa sakit dan kekecewaan (kadang sangat akut), Stoikisme menyarankan bahwa kita sebaiknya "mematikan" kemampuan kita untuk menghargai agar terhindar dari semua risiko.

Saya punya masalah dengan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun