Di era digital ini, kita sudah terbiasa melahap bacaan pendek: teks WhatsApp, Tweet, email. Tulisan-tulisan panjang mulai dienyahkan (mungkin termasuk artikel ini). Sepuluh menit untuk membaca saja rasanya terlalu boros; notifikasi lain menunggu.
Seperti yang dibilang kakak saya saat melihat saya membaca novel setebal 400 halaman: "Ya ampun, kenapa sih menyiksa diri dengan itu?" Tapi saya mengatakan hal sebaliknya saat dia menggulir layar beranda Instagram: "Duh, kenapa buru-buru amat sih?"
Secara umum, sebenarnya saya juga tak suka bacaan panjang, apalagi kalau isinya penuh omong kosong. Beda cerita jika itu merujuk ke Goethe, Steinbeck, Kafka: saya bersedia menghabiskan waktu seharian penuh, di bus atau bangku kantin, untuk membacanya.
Bagaimanapun, anggapan tersebut dapat memicu rasa ngeri tersendiri. Kebanyakan orang memandang sastra kurang berguna untuk kehidupan dan tak menguntungkan secara ekonomi. Sains dan matematika, bukan sastra, yang katanya harus kita pelajari sekarang ini.
Namun, di sini saya akan menunjukkan bahwa sastra memiliki kegunaan yang sama besarnya dengan sains dan matematika jika kita memperlakukannya secara tepat. Lebih anehnya, sastra justru berguna ketika kita tak mengharapkan manfaat apa pun darinya.
Tentu saja, seperti yang akan dikatakan anak sastra kepada saya, membaca karya sastra itu bisa melatih imajinasi, memahami masyarakat lintas ruang dan waktu, memperkaya kosakata bahasa, dan (jika beruntung) membantu kita mengenal diri sendiri.
Dari semua manfaat tersebut, saya hanya akan membahas satu hal yang secara pribadi sangat relevan buat saya: mengasah rasa empati. Perihal lainnya bukan berarti tak penting, tapi Anda dapat dengan mudah mencarinya di artikel lain.
Sastra dapat mengasah rasa empati
Bulan lalu, saya menyimak percakapan menawan antara Ibu Karlina Supelli dan Bapak Gita Wirjawan. Saya terpikat oleh cerita Ibu Karlina yang "dipaksa" membaca sastra oleh gurunya. "Emosi itu bisa dididik melalui sastra (dan) seni," kata beliau.
Saya mungkin agak iri karena saya tak pernah punya guru seperti itu. Dalam kasus saya, satu-satunya orang yang "memaksa" saya membaca sastra adalah diri saya sendiri. Tapi, pendapat beliau bahwa sastra itu dapat mengasah rasa empati membuat saya gatal ingin memeriksanya.