Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Di Balik Layar 100 AU

29 Juli 2023   16:36 Diperbarui: 29 Juli 2023   16:45 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam hal menulis, saya suka memadukan kertas dan teknologi | Gambar oleh Startup Stock Photos via Pixabay

Tulisan ini bukan selebrasi, melainkan kontemplasi. Saya menulis ini bukan karena saya telah merasa puas dan tak mengharapkan apa pun lagi di Kompasiana, meskipun, sejujurnya, angka 100 memberi saya rasa lega tersendiri.

Tulisan ini datang karena angka 100 terasa seperti "check point" buat saya, sejenis jeda paruh waktu dalam sepak bola. Angka 100 juga berarti saya telah menghabiskan banyak waktu, dan saya ingin tahu apakah saya tengah berada di jalan yang tepat.

Apakah tujuan saya sudah tercapai? Apakah saya tumbuh dan berkembang dengan menulis di sini? Lebih penting lagi, apakah saya digerakkan oleh maksud yang benar, atau jangan-jangan saya hanya melarikan diri dari apa yang benar-benar penting (action bias)?

Menjelang kematiannya, Isaac Newton menulis, "Saya tak tahu bagaimana saya dipandang di dunia ini; tapi, bagi saya sendiri, saya selama ini hanyalah seorang anak yang bermain di tepi pantai, asyik mencari batu yang lebih rata atau cangkang yang lebih indah ..."

Saya jelas bukan siapa-siapa, tapi, seperti semua orang, saya selalu penasaran bagaimana orang lain memandang saya, terutama dari apa yang saya tulis. Kini angka 100 memberi saya alternatif lain: inilah momentum untuk saya menjelaskan diri saya sendiri.

Mengapa dan bagaimana saya menulis

Dalam hal menulis, saya suka memadukan kertas dan teknologi | Gambar oleh Startup Stock Photos via Pixabay
Dalam hal menulis, saya suka memadukan kertas dan teknologi | Gambar oleh Startup Stock Photos via Pixabay

Saya menulis, lebih seringnya, bukan untuk menjawab kebingungan orang lain, tapi sekadar memuaskan kegelisahan saya sendiri. Ini mungkin bukan sebuah alasan mulia, seperti yang orang harapkan, bahkan terkesan egois sampai batas tertentu.

Bagaimanapun, saya selalu berharap bahwa kepuasan saya atas suatu informasi juga dirasakan oleh pembaca. Belum lama ini, seseorang mengirim pesan dan, dengan agak jenaka, berterima kasih pada saya karena telah menulis serangkaian artikel tentang persahabatan.

Saya senang dan setengah malu. Jika ada orang yang sangat terbantu oleh serangkaian artikel tersebut, itu adalah saya sendiri. Saya menulis tema persahabatan karena, beberapa pekan lalu (dan mungkin masih), saya kesepian dan mulai bertanya-tanya mengenai hubungan saya.

Mengapa Kompasiana, kalau begitu?

Dulu saya coba menulis di platform lain, termasuk blog pribadi. Kala itu saya masih kelas 11 SMA, dan saya menyisihkan uang jajan setiap harinya agar bisa membeli domain dan hosting blog. Namun, kurang dari satu bulan, saya memutuskan untuk konsisten di Kompasiana.

Jika Anda bertanya mengapa, sejujurnya saya tak tahu pasti. Bagi saya, Kompasiana adalah keluarga yang saya pilih. Sementara saya ujug-ujug terlahir dari rahim ibu saya dan menjadi keluarganya, saya memilih untuk "lahir dari rahim Kompasiana dan menjadi keluarga ini".

Pertanyaan berikutnya, sebagaimana beberapa teman sering mengajukan ini, bagaimana saya menulis?

Saya percaya bahwa ide atau gagasan perlu mengalami masa pengeraman, seperti telur. Draf pertama, bagi saya, selalu buruk. Jadi, dan ini mungkin terdengar mengecewakan, jika orang bertanya seberapa lama saya menulis satu artikel, jawabannya tergantung.

Beberapa artikel hanya perlu satu-dua hari (total sekitar 6-8 jam), mulai dari penyusunan draf pertama, riset, proses menulis, sampai editing. Namun, sebagian artikel bisa memakan waktu berminggu-minggu. Mengapa repot-repot? Mari saya jelaskan.

Dalam sedikit kesempatan, saya hanya mampu menuliskan ide mentahnya saja. Dulu, ketika ramai ChatGPT, saya menyimpan agenda untuk menulis tentang pengaruh ChatGPT terhadap PR sekolah.

Namun, karena kelihatannya banyak orang lain (termasuk pakar) yang sudah menuliskannya, dan saya pikir pendapat saya tak akan jauh berbeda dengan mereka, saya membiarkan ide itu terus membengkak di daftar tunggu.

Di kesempatan lain, saya berhenti di tengah jalan karena alasan-alasan tertentu: hilang minat, topiknya terlalu sulit, tiba-tiba pendapat saya terasa tak masuk akal, dan yang terburuk, saya tak tahu harus berkata apa lagi.

Penyakit terakhir itu biasanya terjadi kalau saya belum sepenuhnya memahami topik atau isu yang hendak saya tulis. Jadi, daripada memaksakan maju dan hanya menghasilkan sebundel omong kosong atau basa-basi, saya berhenti dan mundur ke belakang.

Barangkali itu juga berhubungan dengan kebiasaan saya. Dalam hal menulis, entah fiksi atau non-fiksi, saya tak akan melakukannya jika itu terasa sangat sulit buat saya. Ini bukan berarti saya tak suka tantangan; saya menulis topik-topik sulit, tapi saya berhenti jika stuck.

Contoh terbaru, saat saya menulis artikel tentang ketidaksempurnaan persahabatan, saya mengubah bentuk dan pesan intinya di tengah jalan. Pada mulanya, saya memaksudkan artikel tersebut berbentuk surat kepada seorang sahabat yang tengah depresi.

Namun, karena saya merasa kata-kata saya terlalu kering dan melankolis, dan saya tak tahu apakah orang lain akan mengerti, saya berhenti dan mundur sejenak untuk mencari alternatif lain yang masih berhubungan dengan topik tersebut.

Itu adalah contoh keberuntungan. Saya bisa melanjutkannya kembali setelah kurang-lebih 5 hari. Dalam kasus berbeda, artikel "setengah jadi" dapat mengendap selama beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan.

Artikel saya tentang kepribadian autotelic, misalnya. Saya memperoleh ide mentahnya dari buku "Lost in Thought" karya Zena Hitz. Hanya saja, ide tersebut tetap mentah dan tak tumbuh ke mana pun. Jadi saya mengabaikannya.

Beberapa minggu kemudian, kala saya membaca buku "Creativity: Flow and the Psychology of Discovery and Invention" karya Mihaly Csikszentmihalyi, saya mendapati ide lama saya tentang kepribadian autotelic menjadi jelas dan bernuansa.

Bagaimanapun, sekali lagi, itu masih contoh keberuntungan. Terkadang saya tak mampu (dan tak mau) melanjutkan sama sekali, membiarkannya terbengkalai dan terlupakan. Saya biasa menyebut jenis-jenis ini sebagai "sampah intelektual".

Itu mungkin terkesan buang-buang waktu, tapi saya kira akan lebih percuma kalau saya terus memaksakannya. Dan tentu saja, ada pula artikel yang saya tulis dalam sekali duduk, biasanya lebih bersifat personal, seperti tulisan yang sedang Anda baca ini.

Serius, bagaimana saya menulis?

Bagian di atas, jika Anda menyadarinya, lebih tentang seberapa lama saya menulis, bukan bagaimana saya menulis. Jawaban untuk pertanyaan kedua: saya menulis secara normal. Jika ada yang berbeda, mungkin itu terletak pada bagaimana sebelum saya menulis.

"Salah satu karunia menjadi seorang penulis," ujar Anne Lamott dalam bukunya Bird by Bird (1994), "adalah memberikan Anda alasan untuk melakukan berbagai hal, pergi ke bermacam tempat dan menjelajah."

Saya suka kutipan itu karena terasa cocok buat saya: menulis memotivasi saya untuk melihat kehidupan lebih dekat - kehidupan yang berlalu-lalang dan bergelandangan. Lebih tepatnya, menulis mengubah saya jadi pengamat kehidupan.

Di hampir setiap momen, saya akan menyiapkan kartu catatan dan pena seperti seorang analis yang tengah mengamati gerak-gerik subjek penelitiannya. Saya mendengarkan, mencermati, dan menyimpan sesuatu. Saya jadikan keterasingan saya membuahkan hasil.

Saya bersiap siaga meski tak terlalu yakin apa yang saya cari. Paling tidak, saya tahu bahwa saya sedang mencari sesuatu dan siap untuk cepat-cepat memerhatikan apa pun yang menarik. Buat coretan. Biarkan diri berbuat salah.

Pada kesempatan lain, saya punya "masalah favorit" yang menggantung di kepala saya. Ini adalah sejenis pertanyaan terbuka yang biasanya berkaitan dengan sebuah konten atau proyek yang sedang saya kerjakan.

Saya ingat proses di balik artikel tentang bagaimana SpongeBob sebenarnya memparodikan narasi kapitalisme dan Marxisme. Waktu itu saya sedang mempelajari Teori Kritis mazhab Frankfurt, yang terkenal akan kritik kerasnya terhadap kapitalisme.

Di suatu makan siang, saya menonton SpongeBob (dan sebetulnya inilah rutinitas saya), dan tiba-tiba saja saya terpikir sebuah ide bahwa serial kartun tersebut, dalam beberapa episode, memparodikan narasi pertentangan abadi antara kapitalisme dan Marxisme.

Saya berhenti makan, bergegas mencari HP dan merekam ide tersebut (saya belum mencuci tangan, jadi sulit untuk menulis atau mengetikkannya). Tatkala waktu luang tiba, saya menindaklanjuti rekaman tersebut.

Begitulah, kepala saya berputar dengan ide-ide acak. Segala hal yang saya lihat, dengar, atau pelajari akan menjadi biji-bijian untuk digiling. Di tongkrongan, antrean kantin, atau setengah makan, saya akan menyelinap pergi guna menampung dan membungkus biji-bijian terpilih.

Semua itu memupuk ruang retret dalam diri saya, tempat saya mengingat dan mengambil dan menghubungkan ide-ide. Pada akhirnya, saya akan mencapai titik di mana saya menyadari, "Ada sesuatu yang harus aku katakan." Kemudian saya pergi menulis.

Waktunya memilah apel (lagi)

Angka 100 sebenarnya menusuk saya dengan cara lain: ini mengingatkan saya soal rentetan "aib" saya sendiri di Kompasiana. Untuk menyebutkan beberapa, saya jarang membalas komentar dan kurang terlibat secara keseluruhan dalam komunitas ini.

Ibarat sebuah keluarga, saya mungkin adalah anak pendiam yang suka mengurung diri di kamar dan hanya bicara kalau ada butuhnya saja. Di sini saya tak akan membela diri; saya hanya berharap bahwa tusukan itu adalah sebuah suntikan yang membuat saya sehat.

Setelah ini, saya pikir saya harus menekan tombol riset dan menata ulang semuanya. Dalam ungkapan lain, rasanya saya akan menumpahkan semua apel (jika mungkin) yang selama ini telah memenuhi diri saya.

Dengan cara itulah saya dapat memilah untuk hanya menyimpan apel yang bagus-bagus saja; sisanya saya buang. Beberapa minggu ini saya mengalami hari-hari yang berat. Saya merasa ada terlalu banyak apel busuk yang menyabotase diri saya.

Itu bikin saya sulit berkonsentrasi dan berpikir jernih. Saya pikir saya perlu mengambil jeda, memisahkan apel-apel busuk dari yang baik, mengambil ulat-ulat dan memasang pengaman yang dapat mencekalnya di waktu nanti.

Jadi, apa maknanya 100 AU buat saya? Entah, saya perlu jeda untuk memikirkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun