Selain itu, persahabatan wanita biasanya juga mengarah pada kedekatan dan koneksi melalui berbagi pikiran, perasaan, dan pemahaman. Mereka suka berbicara tentang saat-saat bahagia mereka, dan kekesalan mereka pada orang-orang yang mereka kenal.
Persahabatan pria, di sisi lain, cenderung terbentuk dalam hierarki kompetitif, sehingga kerap dipenuhi gelagat pamer pencapaian pribadi bahwa "aku lebih berani ketimbang kamu" atau "aku menuai pujian lebih banyak daripada kamu".
Itulah mengapa pria jarang mengekspresikan kesedihan atau sisi lemahnya kepada temannya.
Sebuah studi oleh Survey Center on American Life menemukan bahwa 48 persen perempuan telah berbagi perasaan pribadi kepada teman dalam seminggu terakhir, sedangkan pria hanya 30 persen. Pria ternyata cenderung menyembunyikan perasaan pribadinya.
Gejala itu sebagian menjelaskan mengapa persahabatan pria menurun selama masa-masa sulit seperti pandemi Covid-19. Namun, jika kita ingin meniliknya lebih dalam lagi, saya pikir ada satu akar yang dapat kita persoalkan: maskulinitas yang beracun (toxic masculinity).
Toxic masculinity merusak persahabatan pria
Tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan model maskulinitas tertentu dapat menahan perkembangan keintiman. Kita, kaum Adam, diberi pesan sejak muda bahwa kita sebaiknya tak mengekspresikan perasaan kita kepada anak laki-laki lain.
Kita belajar arti menjadi "pria" dari orang-orang sekitar kita dan konteks sosial-budaya yang lebih luas. Kita diajari bahwa "pria betulan" itu harus tangguh, mandiri, dan bersikap dingin. Di mana pun dan kapan pun, bersama teman atau keluarga, kita harus begitu.
Tadinya, sebagai anak-anak yang masih lugu dan tak terlalu paham, kita merasa biasa untuk bermain-main dan terbuka tentang perasaan kita kepada teman. Jika saya agak kesal pada kakak saya di rumah, saya akan menceritakan itu kepada dua sahabat saya.
Seiring waktu, bagi pria, saya tak terkecuali, bisa terasa aneh atau canggung untuk bercerita kepada teman tentang perasaan pribadi, sekalipun benak berteriak minta bantuan, karena itu bertentangan dengan mitologi pria yang ada.
Mitologi itu adalah bahwa lelaki dikagumi karena menjadi "tipe yang kuat dan pendiam" atau pahlawan tunggal dalam masyarakat kita. Intinya, pria harus tampil kuat (atau setidaknya memberi kesan begitu) untuk bisa dihargai, walau akibatnya adalah kesepian.
Stereotip beracun ini terus diromantisasi dalam pop culture, terutama film-film aksi dan laga, membuatnya tampak sangat normal dan dikejar-kejar. Pria seolah harus tampil dengan dada membusung, tangan mengepal, dan tak boleh ada pelukan sesama pria.