Di sini media sosial bukan hanya melengkapi dan memperluas interaksi tatap muka, tapi juga memungkinkan kita untuk mengobrol dengan orang-orang yang agaknya tak akan kita jumpai (lagi) di dunia nyata.
Sebuah studi menemukan bahwa media sosial belum sepenuhnya menghilangkan interaksi offline di antara teman sebaya. Justru, media sosial jadi fasilitas baru bagi kaum muda untuk berkomunikasi dengan sahabatnya, sehingga menambah variasi dan nuansa persahabatan.
Sekelompok peneliti lain di Michigan State menemukan bahwa penggunaan Facebook telah menjadi sarana alternatif untuk memelihara hubungan pertemanan. Para peserta melaporkan bahwa 25-30 persen dari teman Facebook adalah "teman yang sebenarnya".
Media sosial dipilih sebagai alternatif karena, selain menghemat lebih banyak waktu daripada bertemu teman secara langsung, kita juga bisa menghubungi teman tanpa terhalang waktu dan tempat (apalagi kalau teman kita adalah tipe pengawas notifikasi).
Demikianlah, sejauh media sosial dipakai untuk melapisi koneksi offline kita dengan sahabat, tak ada masalah serius yang perlu kita cemaskan. Namun, ini bukan berarti media sosial tak pernah jadi masalah serius. Mari kita menyeberang ke sisi lainnya.
Media sosial juga bikin persahabatan jadi dangkal
Bagian inti dari persahabatan adalah bahwa orang-orang saling menghormati dan mendorong satu sama lain untuk membuat hidup mereka berjalan sebaik mungkin. Dengan adanya media sosial, itu semua telah berubah secara drastis.
Sebuah studi mengumpulkan perspektif lebih dari 3.500 remaja tentang bagian terbaik dan tersulit untuk tumbuh di dunia yang serba terhubung. Hasilnya, walau jumlah teman terus bertambah, makna pertemanan itu sendiri sudah jauh berbeda dari makna konvensional.
Jika biasanya pertemanan (atau persahabatan, saya tak membedakan kedua istilah ini) berarti saling menghormati, menghargai, dan mendengarkan suka-duka masing-masing, pertemanan di media sosial berarti menerima permintaan follow dari kenalan dan teman-dari-teman.
Andai mereka menolak, atau sekadar tak follback saat ada yang mem-follow, mereka merasa dirinya bukanlah teman yang "baik". Lebih jauhnya, ini lebih dari sekadar saling follow, tapi juga tentang mengikuti dan merespons apa yang diposting orang lain.
Para partisipan remaja memberitahu peneliti soal tekanan berat yang muncul ketika mencoba jadi "sahabat yang baik" di era media sosial, karena mereka baru bisa dianggap sahabat kalau sudah mengerahkan dukungan di depan umum dan di belakang layar.
Sebelum postingan dipublikasikan, sahabat dilibatkan dalam pemilihan foto, pengeditan, dan pemeriksaan akhir. Ketika postingan muncul, sahabat diharapkan untuk melangkah maju dan cepat. Memberi "love" atau "like" adalah hal paling minimal.