Semua kasus yang saya bicarakan di atas, anehnya, merujuk pada jenis kedua. Kemampuan untuk menikmati waktu luang terminal merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kepuasan dibandingkan dengan menikmati waktu luang instrumental.
Inilah paradoksnya: waktu luang sangat berguna, tapi hanya sejauh waktu luang itu tetaplah waktu luang. Begitu kesenggangan ini dilihat sebagai sarana untuk meningkatkan semangat kerja atau pengembangan diri, kekuatan waktu luang justru memudar.
Waktu luang ada bukan demi pekerjaan. Waktu luang adalah soal melakukan sesuatu untuk kepentingannya sendiri, untuk mengejar apa yang diinginkan. Kita harus melawan keinginan untuk merusak waktu luang jadi peretasan produktivitas.
Waktu luang, seperti yang dicontohkan oleh orang-orang hebat tadi, menjaga kondisi pikiran tetap aktif. Ini karena waktu luang yang baik bukanlah bermalas-malasan, melainkan diskusi dengan rekan-rekan berkualitas, berolahraga, belajar main musik, berfilsafat.
Waktu luang, ironisnya, tak mudah, tapi seharusnya memuaskan. Ini bukan rekreasi semata, melainkan kebebasan dari tekanan untuk berhasil atas apa yang kita lakukan, menjelajahi jalan-jalan tak produktif untuk, paradoksnya, meningkatkan produktivitas.
Dalam jeda inilah, orang melakukan apa yang paling mendefinisikan mereka, apa yang paling mencirikan siapa mereka sebenarnya. Jadi, saat kita punya waktu senggang, jangan biarkan keyakinan bahwa kita "harus memperoleh yang terbaik dari ini" menguasai kita.
Dengan kombinasi yang pas antara pekerjaan dan waktu luang, antara pemenuhan kebutuhan hidup dan pemenuhan potensi pribadi, antara kesibukan dan hobi, antara berkendara dan beristirahat, kita (mungkin) akan mulai mengerti apa itu puncak kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H