Buku-buku self-help (pengembangan diri, self-improvement, atau apa pun istilahnya) punya daya tarik yang begitu besar bagi masyarakat kita, khususnya kaum muda yang mulai merasa tersesat dalam arus kehidupan.
Itu hasil riset, meski saya mendramatisasi yang terakhir. Jika kita datang ke toko buku, biasanya genre self-help dipajang dekat pintu masuk dengan label "best-seller". Di YouTube, tema-tema ini juga mendominasi dengan rata-rata views yang sangat tinggi.
Tak heran kalau industri ini bernilai miliaran dolar, kategori non-fiksi dengan pertumbuhan tercepat. Pada saat yang sama, kita bisa melihat betapa masyarakat kita haus akan nasihat. Kita mencari kebijaksanaan dan saran praktis dalam apa yang kita baca, dengar, atau tonton.
Namun, kendati industri self-help telah mengubah kehidupan jutaan orang (saya asumsikan mayoritas menjadi lebih baik), industri ini masih kurang kredibel bagi banyak orang. Sebagian menertawakannya sebagai takhayul, yang lain merasa tak puas sama sekali.
Berikut adalah 7 persoalan utama dalam industri self-help saat ini.
1. Mengeksploitasi populasi yang rentan
Kebanyakan kreator self-help biasanya memangsa populasi yang rentan, seperti mereka yang sedang berjuang melawan kecanduan, penyakit mental, atau krisis finansial. Orang mungkin menganggap ini masuk akal. Bukankah mereka memang membutuhkan bantuan?
Betul, tapi ironi dari semua ini adalah, genre self-help lebih membantu orang-orang yang sedari awalnya sudah baik-baik saja. Bagi mereka yang termasuk populasi rentan, buku-buku self-help justru jarang membantu dan bahkan malah berbahaya.
Mereka yang terpuruk sering kali gagal karena mereka dijejali pandangan yang memvalidasi segala keburukan dan kekurangan mereka. Dalam pengertian ini, alih-alih perbaikan, industri self-help membenarkan rasa rendah diri seseorang, yang lalu membuatnya makin putus asa.
Mereka mungkin berkata, "Wow, betapa buruknya aku. Ternyata aku seorang pengecut lebih dari yang selama ini aku kira." Ini sama seperti ketika saya menganggap diri tak berparas tampan, lalu kakak saya bilang begini: "Kau memang jelek, makanya coba bla-bla-bla."
Meski niatnya memberi saran, sebagai orang yang rendah diri, saya lebih menerima apa yang membenarkan keyakinan saya ketimbang nasihat-nasihat yang menyertainya.