Pertanyaan buku ini sederhana: Apa yang harus kita lakukan dengan diri kita sendiri?
Hitz berpendapat, sebagaimana Plato dan Aristoteles, apa yang harus kita lakukan bergantung pada tujuan yang dikejar demi dirinya sendiri, demi aktivitas itu sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain.
Tentu aktivitas yang dirujuk Hitz adalah aktivitas intelektual. Tapi, maksud "intelektual" di sini tak terbatas pada kaum akademisi. Ini sesederhana sebuah kehidupan yang berorientasi pada "mengejar pembelajaran".
Dengan skema biografi, termasuk otobiografi di awal-awal, Hitz menunjukkan bagaimana kehidupan intelektual dapat dan telah dijalani oleh orang-orang dari berbagai kalangan. Hitz menyebut ini sebagai "intelektual sehari-hari".
Ada kelas pekerja yang memakai waktu luangnya untuk melahap buku-buku sejarah dan politik, seorang naturalis amatiran yang begitu serius mengamati kehidupan burung, supir taksi yang kontemplatif, atau tahanan yang memikirkan kehidupan luar yang tak dimilikinya.
Mereka bukanlah orang-orang asing. Mereka adalah orang-orang biasa, yang hari ini kita kenal sebagai Socrates, Archimedes, Andre Weil, Antonio Gramsci, Malcolm X, Santo Agustinus, Goethe, John Baker, Herschels, Albert Einstein, dan banyak lagi.
Sebagian besar di antara mereka jelas tak termasuk "kaum intelektual" menurut definisi mapan. Namun, mereka adalah para "intelektual sehari-hari" yang mengejar minatnya tanpa muluk-muluk, mengalir apa adanya dalam lautan gagasan.
Mereka tak menjadikan aktivitas intelektual sebagai jalan menuju kesenangan; aktivitas intelektual adalah kesenangan itu sendiri. Oleh sebabnya, nilai aktivitas intelektual lebih terletak pada pencarian ketimbang pencapaian.
"...Kemanusiaan kita ditampilkan dan dinikmati paling baik ketika dihadapkan pada suatu keterbatasan yang serius," tulis Hitz. "Tanpa distraksi, kita memerhatikan apa yang ada di sekitar kita."
Keresahan Hitz sangat mendasar: apa makna kehidupan intelektual dalam dunia teknologi yang kelebihan beban, dangkal, di mana hampir setiap orang dinilai dari kegunaannya?
Tapi, Hitz berpendapat bahwa kehidupan intelektual layak justru karena ini bukan instrumen untuk mencapai tujuan lainnya. Sama seperti seorang anak yang baru mendapati kesenangan dalam bermain bola: ia melakukannya bukan untuk menang, tapi demi permainan itu sendiri.