Kita memiliki lebih banyak pilihan, dan mungkin lebih banyak kebebasan, otonomi, dan penentuan nasib sendiri, daripada sebelumnya. Dalam logika khalayak, peningkatan pilihan sering berarti memperbesar rasa puas.
Pilihan adalah apa yang memungkinkan setiap orang untuk secara tepat mengejar tujuan dan aktivitas yang paling memuaskan preferensinya sendiri dalam batas sumber dayanya. Dari sini muncul anggapan bahwa punya banyak pilihan membuat kita makin bahagia.
Asumsi yang terhampar dalam anggapan itu adalah, semakin banyak pilihan yang kita miliki, semakin bebas kita memilih hal-hal yang baik. Atau setidaknya, begitulah yang dikemukakan ekonomi tentang manusia yang "rasional".
Baca juga: Merenungkan Kematian bersama Seneca
Dan jika memang itu benar, patutlah generasi kita disebut beruntung. Ini karena kita tengah menghidupi sebuah era di mana pilihan hampir tak terbatas dan mudah untuk beralih ke sesuatu yang lebih baik.
Inovasi teknologi yang luas jelas telah berdampak besar pada kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan cara yang tampak mustahil di beberapa dekade lalu. Kita sekarang punya "bazar global" dengan pilihan dan kemungkinan yang tak bisa dihitung secara pasti.
Modernitas telah memberikan ledakan pilihan dalam dua hal berbeda. Pertama, dalam bidang kehidupan di mana kita selalu punya pilihan, jumlah pilihan yang tersedia bagi kita telah meningkat secara dramatis.
Misal, sedari dulu kita ditawari rupa-rupa minuman dengan variasi rasa. Hari ini, pilihan yang dijajakan pada kita jauh lebih banyak lagi, dan kadang kita sendiri tak pernah menyangka bahwa rasa semacam itu ternyata ada. Saya penasaran dengan coca-cola garlic.
Kedua, dalam bidang kehidupan di mana hanya ada sedikit atau tak ada pilihan, kini macam-macam pilihan telah muncul. Contoh, obat batuk yang mulanya sangat terbatas, hari ini kita disediakan produk itu dengan bentuk-bentuk yang berbeda dan rasa yang beragam.
Jika kita rasional, menurut asumsi khalayak, opsi tambahan bisa membuat kita lebih baik sebagai masyarakat. Orang yang menginginkannya akan mendapat manfaat, sedang mereka yang tak menghendakinya bisa mengabaikan opsi tambahan.
Secara logis, pandangan itu memang terkesan menarik; tapi secara empiris, itu bermasalah. Seperti yang dipertanyakan oleh psikolog Barry Schwartz (2004), "Apakah pilihan yang diperluas itu baik atau buruk?"