Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Mengapa dan Bagaimana Saya Menulis

4 Desember 2022   11:59 Diperbarui: 5 Desember 2022   13:13 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya menulis untuk merayakan absurditas dunia | Ilustrasi oleh Yerson Retamal via Pixabay

Sejenak saya coba mengingat-ingat alasan saya menulis, lebih khususnya menulis di Kompasiana. Ini terasa seperti memancing ikan: saya tahu ikan yang saya cari ada di dalam kolam memori saya, tapi kadang butuh kesabaran untuk mendapatkannya (lagi).

Saya menunggu. Seperempat jam berlalu. Pagi begitu cerah dan karenanya saya bersedia untuk menunggu lebih lama lagi. Setengah jam berlalu. Matahari mulai naik dan atap-atap rumah menyilaukan mata saya. Ini baru pukul delapan, atau mungkin saya salah meresapi waktu.

Tak ada apa-apa yang muncul dalam kepala saya. Rasanya seperti ikan yang mendadak terlepas dari kait pancing: saya akan membiarkan mereka menyelam dalam-dalam agar kembali ke permukaan dengan lebih gemuk.

Satu-satunya yang sejauh ini jelas, meski sulit dikatakan secara pasti, adalah bahwa alasan-alasan tersebut sangat kekanak-kanakan. Dan memang waktu itu saya masih anak-anak yang baru tumbuh remaja. Bisa dibilang, kebetulan saja saya mulai menulis, dan masih begitu.

Dulu saya tak pernah melihat aktivitas menulis sebagai alat intelektual. Atau ringkasnya, saya tak pernah serius menilai dunia kepenulisan. Malah saya sering merasa betapa malangnya orang yang terjebak berjam-jam di meja-tulis hanya untuk merangkai kata-kata.

Saya belum tahu betapa bodohnya merencanakan hari-hari untuk terisolasi di kamar, hari-hari di mana satu-satunya aktivitas adalah berjalan empat atau lima langkah dari ranjang ke meja. Sekarang, dalam banyak kasus, prasangka itu berbalik kepada saya.

Tapi, saya jelas tak menyesalinya. Dalam kecintaan saya terhadap kepenulisan, ada sesuatu yang lebih besar ketimbang semua kekonyolan yang melekat padanya. Dan di sini saya ingin sedikit menceritakan "sesuatu yang lebih besar" itu, sesuatu yang membuat saya bertahan.

Merayakan absurditas

Sejak dulu, saya percaya ada sesuatu yang mulia dan misterius tentang menulis, tentang orang-orang yang bisa melakukannya dengan baik, yang bisa menciptakan dunia seolah-olah mereka adalah penyihir kecil yang punya ramuan ajaib tertentu.

Saya memikirkan Rumi dan Albert Camus. Keduanya jelas kontras dalam segala hal, kecuali barangkali dalam semangat mereka akan lirisisme. Tapi bagi saya, mereka punya ramuan aneh untuk membawa orang seperti saya keluar dari diri sendiri dan lalu menuntun pulang.

Sementara Rumi membawa saya pada ketenangan yang tak bisa diusik oleh gemerlapnya dunia, Camus justru menunjukkan kepada saya nyala sebuah semesta yang hangat sekaligus dingin, sebuah dunia yang absurd tapi sekaligus punya wewangian surgawi.

Saya tak melihat keduanya saling memalingkan muka. Saya memilih untuk berdiri di antara dua tegangan itu. Dunia absurd, tempat di mana kegelisahan tak terputuskan, terasa begitu dekat dengan hati saya.

Dan memang, menjalani hidup berarti mempertahankan keabsurdan itu tetap hidup. Dengan menghidupkannya, yang utama, berarti merenungkannya. Perenungan ini, sejauh pengalaman saya, jarang berguna tanpa melibatkan dunia-sana sampai batas tertentu.

Dalam hal ini, kedua figur itu bukan hanya membuat saya terobsesi tentang jagat kata-kata, tapi terutama meyakinkan saya bagaimana menulis dapat mengobati diri yang luka. Dengan kata lain, menulis adalah sebentuk terapi diri.

Kita selalu mendapatkan beban kita sendiri-sendiri. Saya pun menanggung beban-beban saya, bagian-bagian saya. Tak perlu dikatakan, perlu waktu lama bagi saya untuk mencari tahu kapan saya sangat kecewa pada diri saya sendiri dan perubahan yang telah saya ambil.

Itulah mengapa dalam banyak kesempatan, saya menulis untuk mengingatkan diri saya akan keindahan hidup, sesuatu yang terlalu mudah untuk diabaikan selama masa-masa krisis atau gelisah. Sering kali saya lupa tentang matahari dan malam berbintang.

Saya lupa bahwa hidup kita terdiri dari kesedihan dan kegembiraan yang seimbang, bahwa tak mungkin seseorang memiliki yang satu tanpa yang lain. Inilah yang menjadikan manusia sebagai manusia. Dan inilah mengapa dunia kita begitu berharga.

Saya menulis untuk mengingatkan diri sendiri bahwa di saat tergelap sekalipun, bunga mawar masih mekar, sinar matahari menerobos celah-celah awan tebal, dan bintang-bintang, dari yang terdekat hingga yang terjauh, masih muncul di malam hari.

Singkat kata, saya menulis untuk merayakan absurditas dunia. Kata Anais Nin: "We write to taste life twice: in the moment and in retrospect."

Mungkin sebagian orang kini akan mengerti mengapa tulisan-tulisan saya, tidak semuanya, seolah ditulis bukan untuk umum dan karenanya terasa sulit dimengerti. Itu benar: lebih dari separuhnya memang saya tulis untuk diri saya sendiri yang "kebetulan" terpublikasikan.

Itu jelas egois. Seseorang menulis untuk pembacanya, protes Anda. Dan tak perlu dikatakan, saya senang Anda menilai kelakuan saya.

Saya menggunakan kata-kata yang terlalu rumit, kata seorang teman. Dan memang, sekali lagi, saya tak akan sedikit pun menyangkal semua penilaian itu. Apa yang bisa diharapkan dari tulisan yang pada mulanya adalah jurnal pribadi?

Dalam konteks ini, mereka yang mengerti dan bahkan menikmati tulisan-tulisan saya, dengan agak cemas dan senang, pastilah punya sensitivitas rasa absurd yang sama seperti saya. Mereka melihat dan mengalami dunia yang, pada banyak titik, serupa dengan saya.

Mereka, dengan kata lain, merayakan absurditas dunia bersama saya.

Hanyut dan tersesat dalam pikiran

"Jika Anda ingin jadi seorang penulis, Anda harus melakukan dua hal di atas segalanya: banyak membaca dan banyak menulis," ujar Stephen King. "Tak ada jalan keluar dari dua hal itu sejauh pengetahuan saya, tak ada jalan pintas."

Saya suka nasehat itu karena sederhana dan relevan. Tapi, saya pembaca yang lamban. Dalam dua tahun belakangan, saya membaca kurang dari lima puluh buku per tahun, dan mayoritas adalah fiksi.

Salah satu nasehat yang populer tentang membaca adalah bahwa kita dapat membaca di mana pun sejauh kita bisa membuka buku. Terlebih, sekarang ada audiobook. Nasehat ini seingat saya juga diutarakan oleh Stephen King, sebab dia sendiri memang begitu.

Tapi, saya bukan tipe seperti itu. Jika saya duduk di halte kampus, umpamanya, saya memang membawa satu-dua buku di dalam tas. Saya tak membukanya; saya lebih memilih untuk memerhatikan jalan dan orang-orang yang kebetulan lewat.

Saya juga tak membaca untuk mempelajari keterampilan menulis; ini sesederhana saya menikmati waktu saya ketika membaca. Meski saya melahap beberapa buku dan memoir tentang dunia kepenulisan, saya tak pernah bersungguh-sungguh untuk menerapkannya.

Sering kali saya hanya merasa berbeda dan perlu bebas dari segala metode yang nyaman (bagi orang lain).

Dari sekian buku yang saya baca, tak pelak lagi, meski ini agak kasar, sebagian di antaranya ditulis dengan cara yang buruk. Saya biasanya akan berhenti membaca sampai saya yakin buku itu tak sesuai untuk saya, tapi kadang berguna juga untuk membacanya lebih jauh.

(Masih) kata Stephen King, "Setiap buku yang Anda ambil punya pelajaran atau hikmahnya tersendiri, dan sering kali buku yang buruk punya lebih banyak pelajaran daripada yang bagus."

Ini karena penulis yang baik juga perlu mengenali tulisan yang buruk, sehingga dengan kemampuan dan upayanya, dia dapat menghindarkan diri dari tendensi itu. Jadi, dalam hal ini, kita membaca untuk mengalami gaya yang berbeda.

Orang mungkin mendapati dirinya mengadopsi gaya yang menurutnya sangat menarik, dan kiranya tak ada yang salah dengan itu. Ketika dulu saya membaca Mark Manson, saya meniru gaya tulisannya yang sering nyeleneh berbau filosofis.

Ketika saya membaca Albert Camus, terutama novel-novelnya, semua yang saya tulis jadi terpotong, dilucuti, dan direbus. Saya merasa telah melangkah jauh dari aturan-aturan baku demi kenikmatan teks itu sendiri.

Sekarang saya tak begitu jelas mengadopsi gaya siapa dan bagaimana. Mungkin saya sudah abai tentang hal-hal semacam itu. Kadang saya hanya ingin menulis dan meluapkan sesuatu dengan cara yang seindah mungkin, atau lebih buruk dari itu.

Saya mulai banyak menulis tak lama setelah saya sadar saya suka membaca. Pada tahap ini, saya mendapati sesuatu yang penting: saya percaya bahwa saya bisa melakukan apa yang penulis lain lakukan.

Saya jadi percaya bahwa entah bagaimana saya mungkin bisa meletakkan jari-jari di atas keyboard dan menciptakan sesuatu yang ajaib. Tapi kemudian, saya menulis seabrek karya dan cerita yang sangat buruk (bahkan mengerikan).

Di perguruan tinggi, dunia rasanya lebih terbuka, dan buku-buku serta pembelajaran yang diajarkan di kelas memberi saya suatu kesan untuk pertama kalinya dalam hidup saya bahwa harapan masih menyala, meski tak begitu terang.

Ini mengingatkan saya pada "The Wild Rose", puisi yang ditulis Wendell Berry untuk istrinya: ... Tiba-tiba kau menyala di hadapanku, mawar liar mekar di tepi semak belukar, anggun dan bercahaya di mana kemarin hanyalah bayangan, dan sekali lagi aku diberkati, memilih kembali apa yang aku pilih sebelumnya.

Dalam konteks ini, saya masih ragu tentang mestikah saya menggantungkan masa depan saya pada dunia kepenulisan, tapi jelas bagi hari-hari saya bahwa aktivitas ini patut mendapat prioritas.

Saya, sebagaimana kebanyakan orang, punya ritual sebelum menulis. Saya minum kopi dalam dosis titrasi. Ada kisaran kecil di mana kopi efektif, kurang dari itu malah tak berguna, dan lebih dari itu jadi fatal.

Saya juga menulis di kamar kost, dengan pintu tertutup dan jendela terbuka. Kebetulan saya menempati kost di lantai dua, sesuatu yang sampai sekarang saya syukuri. Kapan pun saya membuka gorden, saya melihat langit. Saya suka menulis sambil sesekali melihat langit.

Orang bisa mendekati aktivitas menulis dengan kegugupan, kegembiraan, harapan, atau bahkan keputusasaan, perasaan bahwa dia tak pernah bisa sepenuhnya mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan hatinya.

Orang juga bisa menulis dengan keringat di sela-sela jari dan mata menyipit, siap meneriaki orang yang mengganggunya tanpa sebab. Orang bisa melakukannya karena keinginan yang berapi-api untuk mengubah dunia, atau sesederhana memikat seseorang yang ditaksir.

Dan faktanya, saya adalah campuran dari semua itu (kecuali dua yang terakhir, sungguh).

Saya jarang memaksakan diri untuk menulis kalau memang saya tak bisa atau tak mau. Dan saya pikir, inilah perkara unik dari menulis. Apabila saya enggan atau malas, saya akan menutup buku dan melakukan hal lain. Jalan-jalan, mungkin.

Contoh paling menarik terjadi belum lama ini. Tatkala tugas dan ujian kuliah menumpuk, belum lagi soal menulis hal lainnya yang tak bisa diabaikan, saya coba untuk berkonsentrasi dan menyelesaikannya satu per satu. Anda tahu, seperti biasanya.

Upaya itu tak berbuah. Saya seperti kerasukan. Mata saya sampai sakit, punggung dan leher begitu pegal. Pada setiap materi yang bisa saya pikirkan, saya tak mendapatkan kesan bagus tentang pemahaman saya. Terlebih, saya mati kata untuk menulis.

Akhirnya, dalam keputusasaan, saya pergi ke Garut untuk menemui keluarga, berharap bahwa liburan kecil seperti itu bisa memulihkan energi saya yang menurun. Lalu saya kembali ke kost di Jatinangor pada saat tenggat waktu semakin dekat.

Keesokan paginya, saat matahari menyerobot masuk lewat celah-celah jendela, tiba-tiba saya mengimajinasikan bagaimana saya duduk tekun mengerjakan semua tugas-tugas yang terbengkalai. Saya ujug-ujug melihat dengan tepat apa yang mesti saya tulis.

Saya merasa cukup lega dengan semua itu.

Dan tentang semua yang saya katakan di sini, tentu saja, tak sepenuhnya mencerminkan saya. Ada beberapa hal yang diromantisasi, dan sebagian lebih baik disimpan sendiri. Ini agak mirip seperti sebuah sumur yang tak bisa menyelami kedalaman misterius dirinya sendiri.

Saya mungkin bisa berusaha menyelami diri saya sendiri, tapi saya tak akan pernah sampai ke dasarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun