Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merenungkan Kematian bersama Seneca

27 November 2022   17:46 Diperbarui: 27 November 2022   17:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat-saat terakhirnya, Caligula, yang mulanya menyangkal prospek kematiannya sendiri, tiba-tiba menyambut kengerian maut saat dia menunggu pasukan pemberontak masuk. "Ketakutan juga punya akhir," ujarnya.

"Segera aku akan mencapai kekosongan yang melampaui segala pengertian, di mana hati mengenal peristirahatan." Ironisnya, dalam upaya terakhir untuk menyangkal kematiannya sendiri, kata-kata final Caligula adalah, "Aku masih hidup!"

Caligula yang saya ceritakan itu adalah Caligula-nya Albert Camus. Tapi, terlepas dari unsur fiksi (dan puisi) yang dijejalkan Camus, tokoh Caligula bukanlah tokoh fiksi semata. Dia adalah seorang Kaisar Romawi yang dikenal luas karena kekejaman dan kegilaannya.

Ada cerita dari Dio Cassius bahwa Caligula pernah memutuskan untuk mengeksekusi Seneca, yang saat itu sudah jadi senator muda. Namun, seorang pengagum Seneca meyakinkan Caligula bahwa Seneca sudah sakit-sakitan dan karenanya akan mati tak lama lagi.

Seneca, sebagai politikus sekaligus filsuf Stoik, tampaknya telah belajar banyak dari sekian kematian atau penistaan akibat titah kaisar. Dia menyaksikan orang-orang di sekitarnya lebih memilih mati ketimbang hidup disiksa, dan sebagian yang lain justru terlalu cinta hidup.

Sikap kedua itu agaknya menjadikan Seneca resah. Sebab, tatkala orang terlanjur candu pada dunia, merekalah yang sesungguhnya paling menderita. Mereka senantiasa diteror oleh maut, bahwa suatu ketika entah bagaimana, mereka bisa ujug-ujug kehilangan segalanya.

Tentu keliru bila menganggap Seneca mengutuk kehidupan sepenuhnya. Pada saat yang lain, dia juga kagum kepada mereka yang tetap berjuang mempertahankan hidupnya di hadapan maut, memberontak pada "takdir" yang menindas selama diri punya kendali.

Tepatnya, Seneca menasihati orang-orang sezamannya dan sesudahnya bahwa kematian adalah keniscayaan bagi sesuatu yang hidup. Kematian bukanlah kebalikan dari kehidupan, melainkan bagian darinya. Cinta hidup berarti bersedia untuk mati.

Dan karena tak semua orang berkenan menerima fakta semacam itu, maka satu-satunya cara yang layak bagi Seneca adalah dengan mengakrabkan diri pada kematian agar rasa takut yang selama ini bergejolak bisa terkendali dan, mudah-mudahan, diterima.

"Barang siapa tak memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk," tuturnya.

Menerima kefanaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun