Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merenungkan Kematian bersama Seneca

27 November 2022   17:46 Diperbarui: 27 November 2022   17:54 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kematian bukanlah cacat dari kehidupan, melainkan hasil alamiah darinya | Dokumentasi pribadi

Kehidupan, kalau dipikir-pikir, hanyalah sekadar perjalanan menuju kematian. Setiap hari kita mendekati kematian, bahkan sejak kita terlahir. Kematian adalah kondisi dari penciptaan kita. Itu adalah bagian dari diri kita. Kita lari dari diri kita sendiri.

Kita mungkin berpikir hidup dan mati benar-benar berurutan: kita hidup, lalu kita mati. Yang benar adalah bahwa kematian berbaur dan menyatu dengan hidup kita sepanjang waktu. Kita tak mati karena kita sakit. Kita mati karena kita hidup.

Terlebih, jika mati berarti tiada, maka sebenarnya kita sudah "pernah" mengalami itu. Sebab, sebelum terlahir, kita tiada. "Kita mengira maut hanya akan tiba sesudah kehidupan, padahal sesungguhnya kematian datang sebelum dan sesudahnya," tulis Seneca.

Kendati begitu, fakta bahwa setiap orang sadar dirinya fana, kematian tetap saja membuat kita takut dan ngeri. Lebih buruknya, ketakutan itu juga kerap merenggut kebahagiaan kita. Dan bilamana orang menemukan dirinya tak bahagia, dia semakin takut, dan seterusnya.

"Kita semua tahu hal yang sama akan menimpa kita semua," ucap Seneca, "tapi takut menghadapi ajal itu sendiri sering kali menjadi penyebab kematian." Dan karena kita takut, kita menghindar untuk memikirkannya, bahkan untuk sebatas mengakuinya.

Memelihara rasa takut akan kematian bukan saja teror yang tak berkesudahan, tapi juga keserakahan. Kita menginginkan lebih banyak hari, lebih banyak tahun, dan ketika kita diberkati untuk menerimanya, kita masih menginginkan lebih.

Kita bahkan ragu bisa memperbaiki diri seiring waktu yang lebih lama itu. Jika kita telah hidup satu hari saja, kita telah menjalani semuanya.

Manusia unggul dalam menyangkal kebenaran yang menggelisahkan, dan tak ada kebenaran yang lebih menggelisahkan daripada kematian. Kita bersenang-senang di suatu waktu sampai kita lupa bahwa matahari menyinari keseharian kita. Jam berapa, ya, sekarang?

Tiba-tiba kita tersentak oleh waktu. Kita tak lagi belia. Kadang kita butuh sandaran untuk bisa berdiri lama. Wajah yang kita lihat di cermin tampak asing; dahinya sudah mengerut dan tulang pipinya semakin menonjol. Berapa lama lagi, ya?

Beberapa dari kita mungkin putus asa, merasa sia-sia, untuk menyuntik diri mereka sendiri dari gigitan waktu. Tapi, kata Seneca, "Ketika saat-saat terakhir yang tak terelakkan itu tiba, pergilah dengan pikiran yang tenang."

"Bayi, anak kecil, atau orang-orang gila tak ada yang takut pada kematian; sangat menyedihkan bila nalar sehat kita tak memberi kita rasa damai yang sama seperti dibuahkan oleh [kepolosan]."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun