Hak untuk protes menempati posisi istimewa dalam demokrasi. Di luar itu, terutama dalam pusaran otoritarianisme, protes sering berarti kematian. Dengan meluasnya penerapan demokrasi, protes justru sering menjadi penyelamat demos: ia membuat perubahan terjadi.
Protes bukan sebatas sarana untuk mengekspresikan ketidakpuasan, tetapi terutama bertindak sebagai cara bagi mayoritas orang untuk belajar tentang isu-isu yang penting bagi kehidupan komunal dan mulai peduli pada apa yang perlu diubah.
Indonesia sendiri, secara historis, rasanya berutang banyak pada gerakan-gerakan protes sipil, terutama sejumlah demonstrasi yang diampu mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa memang kerap ditempatkan pada posisi fundamental di beberapa episode perubahan sosial-politik.
Orang boleh saja menyebutkannya satu per satu, tapi itu tak akan pasti; sebagian (besar) tak terekspos, sebagian lainnya menunggu untuk diekspos.
Baca juga: Mari Belajar Merasa Vuja De, Bukan Deja VuPada intinya, berkat DNA seperti itu, mahasiswa secara intuitif sering merasa terpanggil oleh keluhan dan pekik para wong cilik atas ketidakadilan kekuasaan. Di sini, sebagaimana banyak kasus lainnya, demonstrasi adalah Robin Hood.
Jika kita menilik kembali periode pasca-kemerdekaan dan pengujung Orba, perjuangan fisik berupa turun ke jalanan adalah sesuatu yang (sering kali) sangat masuk akal. Pada dasarnya, situasi saat itu memang menuntut kaum muda untuk begitu.
Namun, seiring perubahan zaman yang sulit dijelaskan dalam seikat kata, demonstrasi terasa kehilangan relevansinya. Barangkali ini karena kita hidup dalam milieu yang jauh berbeda dari periode di mana aktivisme jalanan begitu penting dan andal.
Dalam masa-masa yang relatif damai dan tenang ini, tanpa menegasikan beberapa guncangan di sana-sini, jalan advokasi melalui demonstrasi rasanya sudah mencapai titik jenuh. Kalaulah kita mau menghitung energi dan biaya yang dikerahkan untuk itu, hasilnya kerap tak sepadan.
Saya, sebagai bagian dari mahasiswa itu sendiri, tak mencela demonstrasi, terutama bilamana kondisinya sudah sangat mendesak dan tak ada cara lain lagi. Malah, sekali lagi, itu adalah bagian dari demokrasi; orang berhak mengekspresikan ketidakpuasan, menuntut perubahan.
Tetapi, kendati mahasiswa tetap bersedia turun ke jalan setiap kali diperlukan, dan tampaknya memang begitu, efektivitasnya sering mengambang. Entah caranya yang problematis atau pihak otoritasnya terlalu abai, semua itu kiranya sudah cukup menjadi bukti betapa kita memerlukan sebentuk aktivisme baru.