Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mari Belajar Merasa Vuja De, Bukan Deja Vu

16 Oktober 2022   12:15 Diperbarui: 18 Oktober 2022   11:37 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

William James pernah mengisahkan pengalaman seseorang yang menghirup gas pembius; ketika masih dalam pengaruh biusnya, ia mengetahui rahasia alam semesta, tetapi ketika ia mulai tersadar, pengalaman itu tidak bisa diingat (Russell, 2010, hlm. 124).

Pada kesempatan berikutnya, ia bertekad untuk menuliskan rahasia itu sebelum "ilham" yang didapatkannya benar-benar lenyap. Lantas suatu waktu, manakala ia telah sadar sepenuhnya, ia cepat-cepat memeriksa apa yang telah ditulisnya.

Terbaca di situ: "Bau gas menyebar ke mana-mana."

Kepastian subjektif, sebagaimana ditunjukkan anekdot itu, bisa sangat menyesatkan. Apa yang tampak sebagai pengalaman atau pemahaman yang benar, jika diterima begitu saja, dapat membawa kita pada labirin kekeliruan; kita terus memercayai ilusi kita sendiri.

Kesembronoan semacam itu sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya. Sebagai mahasiswa, yang didorong untuk aktif berpendapat (saat kelas), saya kerap berhasrat untuk mengatakan macam-macam hal yang kiranya bisa membuat orang lain terpukau.

Namun, selepas berbicara dengan penuh gairah dan retorika, saya tidak tahu lagi tentang apa yang telah saya bicarakan. Pada dasarnya, niat saya memang sudah kurang ajar. Saya, bila diingat-ingat, sudah menjadikan orang lain sebagai alat perekam: saya ingin mereka (hanya) menerima dan mengulangi pendapat saya.

Kalaulah intuisi saya benar, atau setidaknya cukup jernih untuk menilai diri sendiri, perlahan saya mulai menjauh dari kesembronoan itu. Tentu saya tidak yakin bisa menghindarinya secara penuh, tetapi saya yakin bisa lebih berhati-hati terhadapnya.

Justru, dan ini agak ironis, belakangan saya sering berhadapan dengan orang-orang yang begitu percaya diri saat berbicara, tetapi kemudian, setelah saya tanya ini-itu, mereka mendapati kontradiksi dan cacat serius dalam argumen mereka sendiri.

Dalam beberapa kasus, mereka tampil tanpa ragu untuk mengatakan sesuatu yang amat canggih, yang saya ketahui sangat keliru, dan saya percaya bahwa mereka juga tahu tentang kekeliruannya sendiri.

Semua itu tidak saya maksudkan untuk menuduh siapa pun sebagai bejat atau sok tahu, bahwa mereka berusaha memanipulasi orang atas ketidaktahuannya; lebih-lebih, saya ingin menggambarkan bagaimana kita semua acapkali melakukan kesembronoan itu tanpa sadar.

Fakta bahwa kita sering terlalu yakin dengan pengetahuan (atau lebih tepatnya, ingatan) kita sendiri, itulah persoalannya. Kita terlalu enggan untuk mengungkapkan ketidaktahuan kita; bahkan pada diri sendiri.

Lantas, adakah cara untuk mengatasi persoalan itu?

Ada segudang cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi, atau setidaknya meminimalkan, kecenderungan semacam itu. Dalam artikel ini, saya hanya akan menjabarkan satu cara yang, selain karena saya memang menerapkannya, saya percaya efektivitasnya.

Cara yang dimaksud adalah dengan senantiasa merasa vuja de, alih-alih dj vu.

Makna Vuja De

Komedian George Carlin, dalam sebuah penampilannya, melontarkan istilah "vuja de" sebagai kebalikan dari istilah Prancis "deja vu".


Sebagaimana diketahui, deja vu secara literal berarti already seen, suatu perasaan akrab yang sulit dijelaskan; terkesan familier pada sesuatu yang asing. Deja vu, dengan demikian, terjadi saat kita menemui sesuatu yang baru, tetapi rasanya kita pernah melihat itu sebelumnya.

Vuja de, sebaliknya, terjadi ketika kita menghadapi sesuatu yang familier, namun kita merasa asing dan tidak pasti. Tidak peduli seberapa seringnya sesuatu itu terjadi, "this is the strange feeling that somehow," ungkap Carlin, "none of this has ever happened before."

Demikianlah, vuja de membuat kita melihat sesuatu dengan sudut pandang baru, yang pada gilirannya membantu kita mendapatkan wawasan baru untuk masalah lama.

Perasaan vuja de, dalam wujud sederhananya, mendorong kita untuk menolak segala bentuk afirmasi yang serta-merta; dan itu artinya turut menjauhkan kita dari kesembronoan yang sebelumnya dibicarakan.

Pengetahuan yang mulanya begitu kita yakini kebenarannya, setelah diberi jarak dan dipertanyakan kembali, ujug-ujug menjadi sesuatu yang disadari ketidakpastiannya. Kita dibuat bingung dan heran oleh sesuatu yang selama ini dianggap paham.

Orang barangkali terkejut bahwa sebenarnya Teori Evolusi tidak pernah mengklaim manusia berasal dari kera, bahwa self-healing tidak sama dengan self-reward, dan bahwa arti kata "acuh" sama sekali bukan cuek, melainkan "peduli".

Perasaan vuja de, karenanya, dapat menjadi (salah satu) tahap permulaan menuju pemikiran kritis.

Kita tiba-tiba menjadi asing terhadap sesuatu yang familier, tapi toh melalui rasa asing itulah kita dapat menjernihkan pemahaman kita sendiri dari kepastian-kepastian semu, meluruskan apa yang selama ini diiyakan begitu saja.

Hal itu karena seni berpikir kritis bukanlah tentang mengubah kodrat manusia, atau berpura-pura bahwa kita bisa (dan harus) bertindak rasional sepenuhnya sepanjang waktu. Ini adalah tentang mengenali batasan kita sendiri, dan orang lain.

Ini adalah soal mengetahui kapan harus mengambil jeda, memikirkan ulang, dan mencapai pertanyaan-pertanyaan yang akurat agar kita mampu mengerti kedalaman sesuatu. Kita secara sadar ingin memahami suatu hal, dan rasa asing terhadapnya merupakan awalan yang bagus.

Mengapa Harus Vuja De?

Kemudahan dan kelimpahan informasi yang kita nikmati hari ini tampaknya tidak berbanding lurus dengan keterampilan kita dalam berpikir kritis. Orang biasanya merasa cukup puas dengan sekadar tahu tanpa mengerti.

Akibatnya, meskipun kita dibuat familier terhadap banyak hal, kita sekaligus menjadi orang-orang yang dangkal dalam memahami sesuatu. Anehnya lagi, kita juga merupakan generasi yang suka berkomentar, kendati kedangkalan pemahaman begitu lestari.

Kedangkalan pemahaman itu, dalam bentuk terburuknya, sering membuat orang menjadi sangat fanatik terhadap keyakinannya sendiri. Mereka mengingkari segala kemungkinan lain, dan karenanya menindas orang lain yang keyakinannya berbeda.

Dengan vuja de, alih-alih menolak ketidaktahuan dan ketidakpastian diri sendiri, semua itu justru dijadikan sebagai sumber kekuatan. Proses memahami bukan lagi tindakan pasif, tetapi sebentuk perjalanan dari satu pertanyaan ke pertanyaan lain.

Seperti diungkapkan Levi-Strauss, "Ilmuwan bukanlah orang yang memberikan jawaban yang benar; mereka adalah orang yang mengajukan pertanyaan dengan tepat."

Itu tidak berarti kita terus-menerus bertanya tanpa berupaya menjawabnya; itu hanya berarti kita memberikan perhatian yang mendalam terhadap satu pertanyaan sebelum menjawabnya, lalu setelah itu kita mencetuskan pertanyaan lain untuk memperkaya pertanyaan sebelumnya.

Dalam hal ini, vuja de juga merupakan semacam updating and rethinking pandangan kita sendiri. 

Proses pembaruan dan pemikiran ulang ini agaknya dapat dimulai dengan kerendahan hati intelektual, yaitu mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Kita semua harus bisa membuat daftar panjang area di mana kita tidak tahu (dan kita ingin mengetahuinya).

Area saya, misalnya, mencakup fisika, astronomi, fashion, apa yang kita maksudkan dengan "ketakterhinggaan", dan mengapa kita tidak bisa menggelitik diri sendiri. Langkah semacam ini, kalau bukan menuntaskan persoalan, adalah cara untuk membuka pintu keragu-raguan.

Saat kita mempertanyakan pemahaman kita saat ini, kita menjadi ingin tahu tentang informasi apa yang kita lewatkan. Pencarian ini membawa kita pada penemuan-penemuan baru, yang pada gilirannya menjaga kerendahan hati kita dengan menyadari betapa kita masih harus belajar.

"Jika pengetahuan adalah kekuatan," ungkap Adam Grant, "mengetahui apa yang tidak kita ketahui adalah kebijaksanaan... Kutukan pengetahuan adalah bahwa ia menutup pikiran kita dari apa yang tidak kita ketahui."

Penilaian yang baik bergantung pada memiliki keterampilan (dan kemauan) untuk membuka pikiran kita. Itu karena berpikir kritis bukanlah upaya menyatukan atau memunculkan yang familier di bawah selubung prinsip besar.

Berpikir kritis adalah mempelajari ulang cara melihat, mengarahkan kesadaran seseorang, menyediakan tempat khusus bagi setiap gambaran. 

Demikianlah, saya cukup yakin bahwa dalam hidup yang semakin rumit, vuja de adalah kebiasaan yang sangat penting dan semakin mendesak. 

Tentu saja, saya mungkin salah. Dan jika memang begitu, saya akan cepat masuk ke dalam mode vuja de, lalu memikirkan ulang semua yang saya tulis.

"Look closely. The beautiful may be small." (Immanuel Kant)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun