Dalam budaya massa modern, manusia menjadi lebih terorganisasikan daripada peradaban mana pun yang pernah tercatat dalam sejarah. Oleh karenanya, berbagai macam perilaku atau kebiasaan tidak lagi berderajat "individu", melainkan "kolektif".
Saya menyebutnya "Perilaku Kerumunan".
Perilaku Kerumunan ini dibentuk oleh setiap budaya dengan tren-trennya tersendiri, dan bagi mayoritas orang, mereka mesti mengikutinya. Mereka menjadi seperti pasukan lebah yang mau-tidak-mau harus menuruti aturan sang ratu, terlepas dari betapa anehnya aturan tersebut.
Ketika seseorang melangkah bebas dengan menjadi berbeda dari Perilaku Kerumunan, ia mungkin akan diasingkan oleh sekitarnya dan lalu ia pun merasa bersalah atas tekanan batinnya sendiri.
Orang tergerak untuk merasionalisasi keadaan status-quo sebagai kondisi yang sah, meskipun hal tersebut berlawanan dengan kenyamanan pribadi mereka. Dalam ketidaksadaran yang merayap pelan, mereka melepaskan orisinalitasnya demi menjadi sama dengan kelompoknya.
Asumsi ini, pada akhirnya, membentuk asumsi lain yang lebih buruk bahwa "berbeda dari Perilaku Kerumunan adalah tidak normal".
Jika seseorang hidup di antara orang-orang yang hedonis, mungkin ia akan menganggap bahwa berdiam diri di rumah hanya untuk membaca buku merupakan sesuatu yang tidak normal.
Terlepas dari nyaman atau tidaknya gaya hidup tersebut, apa yang disebutnya sebagai "normal" adalah segala hal yang menunjukkan bahwa ia juga seorang hedonis. Paradigmanya disetir oleh asumsi lingkungan, dan ini jelas-jelas melumpuhkan orisinalitas.
Menerima sistem yang sudah ada berfungsi sebagai penenang. Itulah obat pereda rasa sakit emosional: bila dunia sudah semestinya demikian, maka kita tidak perlu merasa kecewa terhadapnya.
Namun, kepasrahan tersebut juga melenyapkan kemarahan moral yang berfungsi sebagai tenaga untuk melawan ketidakadilan dan menumbuhkan hasrat kreatif dalam memikirkan cara-cara alternatif.
Seperti yang dikatakan Albert Camus dengan penuh pertimbangan, "Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak menjadi dirinya sendiri."
Tentu tidaklah tepat bila saya terlalu melebih-lebihkan bahwa orang yang mengikuti Perilaku Kerumunan akan kehilangan orisinalitasnya. Namun konteks yang saya maksudkan di sini adalah, orang menjadi sangat terikat pada Perilaku Kerumunan yang mengakibatkan alienasi-diri.
Alienasi dalam masyarakat kita dapat dilihat dari nilai-nilai, norma-norma, dan segala macam jenis etik yang ditaati bukan karena kesadaran moral, melainkan semata-mata seperti "program yang disetel pada robot".
Beberapa dari kita seolah-olah kehilangan kendali atas apa yang terjadi dalam dirinya. Segala perilaku dan tindakan yang diambilnya seperti diputuskan oleh sesuatu di luar dirinya, dan ia sendiri menjadi seperti "sebuah robot yang berkesadaran".
Otomatisasi perilaku tersebut biasanya terjadi dalam rangka mencapai kenormalan, atau bila diungkapkan secara jujur, "Aku ingin menjadi orang normal." Tentu tidak ada yang salah dengan keinginan semacam itu.
Satu-satunya hal yang bermasalah adalah, definisi kita sendiri terhadap apa itu "normal".
Siapa yang menentukan apa itu "normal"? Saya pikir masyarakat kita jugalah yang menentukannya karena tercermin dalam budaya massa yang saya sebutkan di awal, atau dalam Perilaku Kerumunan yang terbentuk oleh kebiasaan umum.
Di sini dapat kita lihat bahwa keinginan untuk menjadi normal pada dasarnya merupakan kehendak untuk menjadi sesuai dengan standar perilaku yang berlaku umum. Jika seseorang menyimpang dari jalur tersebut, mungkin ia akan dianggap "tidak normal" atau bahkan "gila".
Dengan definisi demikian, orang justru teralienasi dari dirinya sendiri karena terlalu mengikatkan diri pada standar perilaku umum. Dan lebih buruknya, segala mimpi, keinginan, dan tujuan didasarkan pada standar umum yang sama kakunya.
Kehidupan personal orang-orang menjadi monoton dan mekanistik.
Pembicaraan berat ini mengingatkan saya pada serial animasi SpongeBob SquarePants season 6 berjudul "Not Normal", yaitu ketika Squidward mencela SpongeBob sebagai pribadi yang "tidak normal" karena tingkahnya yang sangat atraktif.
SpongeBob pun merasa tersinggung oleh kritikan tersebut, dan lalu berupaya menjadi normal dengan pertama-tama menonton sebuah CD yang berjudul "How to be Normal for Beginners".
Dalam rekaman, kita melihat seorang pria bernama "Tuan Normal" yang bekerja sebagai pegawai kantoran dan menjalani rutinitas yang persis sama dengan orang-orang di sekitarnya, bahkan demikian pula rumah mereka.
Itu benar-benar contoh sempurna untuk apa yang saya katakan sejauh ini, atau barangkali lebih tepatnya "contoh yang ekstrem". Namun yang jelas, episode tersebut seolah merupakan satire yang memparodikan tendensi masyarakat modern pada rutinitas yang kaku.
Dan ironisnya, rutinitas kaku itulah yang disebut sebagai "gaya hidup normal". Atau sialnya juga, kita mengikatkan diri pada semua itu sehingga orisinalitas tidak lagi muncul ke permukaan. Meminjam frase SpongeBob, itulah "ironi di atas ironi".
Di episode tersebut, kita tahu bahwa pada akhirnya SpongeBob berusaha untuk kembali menjadi dirinya sendiri yang sempat dianggapnya "aneh". Tetapi lepas dari apa yang selanjutnya terjadi, apa yang dapat kita pelajari dari "olok-olok" ini?
Jika Anda penonton yang loyal, Anda pasti mengerti bahwa sepanjang kartun tersebut tayang, karakter bawaan SpongeBob memanglah atraktif seperti yang ditayangkan dalam episode "Not Normal".
Ketika kemudian ia memutuskan untuk kembali menjadi dirinya sendiri, dapatkah kita menyimpulkan bahwa SpongeBob lebih suka "menjadi aneh dan tidak normal"? Saya pikir itu bukan kesimpulan yang kita cari.
Kesimpulan yang lebih tepat adalah, "menjadi normal berarti menjadi diri sendiri".
Apabila kita menggunakan definisi "normal" yang pertama (bahwa orang mesti sesuai dengan Perilaku Kerumunan), maka Squidward berkata benar. Namun konsekuensinya, orang menjadi "terasing" atau teralienasi dari dirinya sendiri seperti yang dialami SpongeBob.
Mereka tidak lagi mengenal dirinya yang sejati. Mereka hanya tahu seperti apa dirinya di mata orang lain, karena memang itulah yang selama ini selalu mereka tunjukkan ke permukaan. Mereka tidak melihat ke kedalaman; mereka sepenuhnya tertipu oleh bayangan.
"Orang berakal sehat menyesuaikan diri dengan dunia," tulis Bernard Shaw. "Orang tak berakal sehat gigih berusaha menyesuaikan dunia dengan dirinya. Oleh karena itu, seluruh kemajuan bergantung pada orang tak berakal sehat."
Ungkapan "saya ingin menjadi normal" sebenarnya merupakan perasaan betapa seseorang ingin diterima oleh sekitarnya dan diakui keberadaannya.
Tetapi orang mengambil langkah yang aneh, bahwa kemudian mereka menenggelamkan diri dalam Perilaku Kerumunan sehingga lebih mirip seperti "domba-domba terbaik di dunia". Padahal sejarah telah mengajari kita bahwa orang-orang besar adalah mereka yang orisinal.
Kini kita harus meruntuhkan paradigma umum bahwa menjadi "normal" bukan berarti mengikatkan diri pada Perilaku Kerumunan, melainkan menjadi diri sendiri.
Memang adakalanya kita mesti mengikuti Perilaku Kerumunan sebagai kesadaran moral kita atas kebersamaan, tetapi tuntutan tersebut hanya muncul dalam segelintir kesempatan saja.
Dalam banyak waktu, kita diberi pintu terbuka untuk menjadi apa adanya kita dan tidak memaksakan diri untuk (selalu) sesuai dengan standar perilaku umum. Kita mesti keluar dari genangan kebencian-diri dan sebagai gantinya, mencintai sinar kita sendiri.
Menjadi diri sendiri bukan berarti menjadi stagnan dan berhenti berkembang. Justru penerimaan diri merupakan batu pijakan kita untuk terus melangkah dan menari sepanjang jalan, sebab tanpa kecintaan terhadap diri sendiri, segala perkembangan tidak memungkinkan.
Apa yang terpenting, saya adalah satu-satunya bagi diri saya sendiri, atau pribadi yang alami bagi dimensi spiritual.
Pada suatu waktu yang mengerikan, sesosok alien datang melawan saya di balik cermin dalam kedekatan yang akrab dan sangat mengganggu. Di kedalaman matanya, saya menemukan gambar saya sendiri yang saya sadari sebagai diri saya yang sempat terasing.
Namun ketika saya menjalani hidup sebagai diri saya sendiri yang sejati, bayangan tersebut berubah menjadi seseorang yang persis sama seperti saya, atau lebih tepatnya, itu memanglah bayangan saya sendiri yang sebagaimana adanya.
Kita mesti berani untuk menentukan nilai-nilai kita sendiri dan tetap berkontribusi secara sosial. Hidup adalah tentang menjaga keseimbangan yang rapuh tersebut, dan dengan begitulah kita bisa merasakan betapa kita memang berharga bagi dunia.
Seperti yang juga dikatakan Albert Camus, "Tidak ada yang menyadari bahwa beberapa orang mengeluarkan energi yang luar biasa hanya untuk menjadi normal." Kini kita telah menyadari batasan tersebut, dan kita diberi pilihan untuk memutuskannya secara merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H